Kamis, 06 Januari 2011

Bahaya dari pelatihan otak tengah

Belakangan ini seminar tentang aktivasi otak tengah sangat menjamur di kalangan masyarakat, banyak orang yang terkagum-kagum ketika melihat seorang anak yang duduk dibangku SD menggambar dengan mata tertutup, membaca koran, atau bahkan bisa naik sepeda dengan mata tertutup. Sebuah atraksi luar biasa ini bisa dilakukan oleh anak-anak ini dengan hanya latihan beberapa hari saja. Dari sinilah banyak orang tua yang akhirnya rela mengeluarkan biaya yang tidak murah, untuk mendaftarkan anaknya mengikuti pelatihan-pelatihan aktivasi otak tengah, tujuannya adalah, sesuai dengan janji panitia, anak akan menjadi lebih cerdas bahkan jenius. Lalu yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah benar metode aktivasi otak tengah ini baik? Apakah sudah ada penelitian yang membuktikan metode ini baik atau tidak?

Menurut Kepala Dinas (Kadis) Kesehatan Batubara Surya Darma yang saya kutip dari menuturkan bahwa, otak tengah itu tidak ada dalam ilmu pengetahuan medis. ’’Kalau ada yang bilang bahwa otak tengah itu ada, itu bohong. Sejauh saya jadi dokter dalam anatomi tubuh manusia, tidak ada otak tengah itu. Saya berani bilang itu tidak dapat dipertanggungjawabkan,” papar Surya Darma.
Sedangkan menurut Lely Setyawati Kurniawan, Psikiater, Staf Dosen di bagian FK. Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, konsultan Forensik Psikiatri ditulisannya menuturkan bahwa, yang terjadi pada anak-anak tersebut sebenarnya bukan ke JENIUS an ( memiliki IQ yang sangat tinggi atau di atas 140), melainkan latihan untuk suatu kewaspadaan (awareness) terhadap apapun yang ada di sekeliling mereka. Kondisi awareness yang berlebihan akan membuat seseorang mengalami gangguan jiwa, dari gejala ringan seperti gangguan cemas menyeluruh sampai tipe berat seperti gangguan paranoid. Kondisi awareness tersebut muncul setelah otak tengah anak-anak tersebut diaktivasi dengan suatu cara tertentu, seperti memperdengarkan alunan musik klasik dan instrumentalia lainnya, gerakan-gerakan tubuh, menciptakan suasana tertentu, dan lain-lain, kemudian ditambah juga dengan program neuro-linguistik (NLP) yang disisipkan demi sebuah proses aktivasi yang nantinya mengarah pada suatu keadaan extra sensory perception (ESP).
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Peter D. Larsen, Sheng Zhong, dkk. (2001) membuktikan bahwa ada beberapa hal yang berubah karena aktivasi otak tengah, misalnya tekanan arteri utama (mean arterial pressure), aliran darah di ginjal (renal blood flow), aliran darah di daerah paha (femoral blood flow), persarafan daerah bawah jantung (Inferior cardiac), persarafan simpatis dan denyut jantung akan makin meningkat, sebaliknya tekanan darah justru turun, aktivitas persarafan di daerah tulang belakang juga turun. Peningkatan tekanan arteri, aliran darah ginjal dan paha tersebut bisa mencapai 328%.
Sebenarnya ada beberapa tahapan yang harus dilalui oleh suatu lembaga yang memiliki metoda baru sebelum dilemparkan dan dimanfaatkan untuk kepentingan publik. Minimal telah melalui 10 tahun percobaan di laboratorium (in vivo), setelah lulus uji klinis, barulah diujikan pada hewan-hewan percobaan dengan evaluasi sekitar 10 tahun. Pada tahap ketiga barulah diujikan pada para relawan (biasanya mereka dibayar) dan kembali dilakukan evaluasi. Dengan demikian dibutuhkan waktu sekitar 30 tahun untuk membawa suatu metode baru yang aman ke tengah masyarakat.
Nah yang harus diperhatikan dan diketahui bahwa hingga hari ini belum ada satupun publikasi ilmiah yang menyatakan bahwa aktivasi otak tengah meningkatkan kecerdasan manusia, apalagi meng-upgrade-nya menjadi jenius. Karena itu sebaiknya orang tua dapat lebih berhati-hati dalam memilih dan mengikutsertakan anak ke dalam metode-metode pelatihan.

Sumber: Lely Setyawati Kurniawan, Psikiater, Staf Dosen di bagian FK. Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, konsultan Forensik Psikiatri ditulisannya yang saya kutip dari( http://gracecenterbali.blogspot.com), (FadhilahIslam.com), (lancarrejeki.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar