Judul : Dampak dari tingkat empati terhadap bullying kelompok teman sebaya di sekolah
Penyusun : Yasemin Ozkan dan Elif Gokcearslan cifci
Tipe Jurnal : Humanity and social sciens Journal
Tahun : 2009
Abstract
Aksi kekerasan semakin meningkat di tahun-tahun terakhir ini dan terjadi di seluruh dunia dan dinegara kita. Pantulan peristiwa yang dilihat di sekolah. Meskipun banyak penelitian tentang bullying pada kelompok teman sebaya, angka penelitian tentang subyek di negara kita masih sedikit. Menurut penelitian di berbagai dunia, bullying pada kelompok teman sebaya itu dikarenakan banyak faktor. Meskipun belum ada penelitian yang meneliti hubungan antara bullying pada kelompok teman sebaya dengan empati, dapat terlihat bahwa terdapat hubungan yang kuat diantara keduanya. Menurut beberapa penelitian, terdapat hubungan positif antara perilaku bullying and tingkat empati yang rendah. Disamping itu, ditemukan bahwa ketika kemampuan empati meningkat, perilaku bullying menurun. Empati adalah kemampuan yang dilahirkan dan dapat ditingkatkan. Ketika keluarga menjadi peran utama dalam meningkatkan empati, lingkaran sosial anak yang terdiri dari dari sekolah, teman, dan orang-orang disekelilingnya yang dapat memberikan kontribusi juga untuk peningkatan ini. Penelitian ini akan mengevaluasi anak-anak yang memperlihatkan dan menunjukan perilaku bullying dan alasan dari perilaku ini sambil membicarakan tentang hubungan antara empati dan kekerasan kelompok sebaya.
Landasan Teori
Terdapat frekuensi yang meningkat dari perilaku bullying antara kelompok teman sebaya di sekolah beberapa tahun terakhir ini. Kekerasan antara kelompok teman sebaya menjadi fenomena yang tersebar luas dan itu menjadi masalah psikolog, guru dan keluarga di banyak negara di dunia. Satu yang paling menjadi bentuk dorongan dari kekerasan di sekolah adalah bullying, yang didefiisikan sebagain perilaku agresi yang berulang dan dilakukan oleh pelaku bully atau kelompok dari pelaku bully yang secara sistematis mengorbankan kelompok yang lemah. Bullying di sekolah telah mendapatkan penanganan perhatian yang hebat dari perkembangan psikopatologi, penelitian tentang pendidikan, dan penelitia tentang kriminologi lebih dari 20 tahun yang lalu. Bukti menunjukan bahwa bullying disekolah memiliki macam-macam konsekuensi dari keduanya antara si pelaku dn korban. Penelitian terkahir di akhir 1970-an sampai 1978, olweus menerbitkan buku nya dalam versi bahasa inggris yang berjudul agression I the school: Bullies and whipping boys (awalnya di terbikan di swedia tahun 1973) ini menandai awal dari mengalirnya penelitian tentang bullying. Setelah itu penelitian selanjutnya dilakukan di Inggris, Finlandia, Canada, Jepang, dan Amerika, dan memberikan kontribusi untuk memahami alasan kebohongan dibawah perilaku bullying.
Banyak aksi dari kekerasan di sekolah yanga menunjukan bahwa perilaku bullying pada kelompok teman sebaya di dunia juga meningkat. Olweus melaporkan penelitiannya yang menguji 130.000 sekolah anak-anak antara usia 7-16 tahun, dan 5-5 persen dari siswa tersebut menunjukan perilaku bulying secara berkala. Hasil dari penelitian di Inggris menunjukan bahwa 75% dari 4.700 anak di usia 11-16 menunjukan bulying secara fisik. Rigby, setelah meneliti 25.000 anak-anak sekolah, melaporkan bahwa satu dari tujuh siswa menjadi korban bullying setidaknya satu kali dalam semimggu di Australia. Smith , melaporkan bahwa 8% seklah dasar dan 10% anak-anak sekolah menengah, mengakui telah melakukan bullyingterhadap siswa lain kurang lebih satu atau dua kali di Ingrris. Laporan dari penelitian hazzler menyatakn bahwa 5% siswa Amerika menunjukan perilaku bullying.
Tipe kekerasan dari kelompok teman sebaya:
Penelitian terakhir yang mengunkapkan beberapa perbedaan jenis bullying dari kelompok teman sebaya. Meskipun jenis bullying dari kelompok teman sebaya ini disebut berbeda dalam macm-macam penelitian, terdapat tiga tipe utama dan tipe yang paling banyak diketahui adalah physical bullying dan oraal bullying. Physical bullying adalah aksi atau ancaman yang menimbulkan luka fisik. Perilaku seperti mendorong, menendang, memukul adalah contoh dari physical bullying. Oral bullying ditunjukan dalam bentuk ejekan, hinaan, panggilan nama julukan dan menyebarkan gosip. Gini dkk, menemukan jenis lain dari kekerasan pada kelompok teman sebaya dalam penelitian mereka. Jenis bullying ini disebut relational bullying. Relational bullying adalah sikap menghina, menyudutkan atau mengisolasi korban dengan melakukan kekerasan hubungan teman sebaya dalam perintah untuk memenuhi ketertarikan diri. Mengsolasi orang yang tidak menyetujui atau menuntut adaptasi individual dari aktivitas sosial atau menyebarkan gosip tntang seseorang adalah contoh dati relationl bullying. Tiga jenis bullying ini saling berintegrasi satu sama lain dan menunjukan frekuensi diri mereka bersama-sama dalam kehidupan nyata. Khususnya, relational bullying yang merupakan pengalaman dari jenis bullying yang lainnya.
Karakteristik anak-anak yang menunjukan perilaku bullying :
Bully secara umum cenderung untuk menjadi agresif, marah dan memaksa. Mereka adalah individu dengan perilaku yang negatif yang mengarah ke kelompok teman sebaya mereka dengan perilaku yang positif,mengarah ke perilaku bullying, pelaku adalah anak yang secara akademik tidak bagus, tidak merasa aman, dan cenderung memecahkan masalah mereka dengan melakukan sebuah paksaan. Disamping itu, yang ditujukan dari hal ini adalah anak-anak yang memiliki kekurangan dalam pembelajaran sosial dan pemecahan masalah sosial. Pelaku memiliki resiko untuk berubah menjadi seorang kriminal dan alcoholism. Banyak penelitian yang menyetujui bahwa pelaku laki-laki lebih banyak dari perilaku wanita. Beberapa penemuan , melaporkan jumlah korban perbedaan gender. Para peneliti menemukan bhwa korban anak laki-laki lebih banyak daripada anak perempuan, penelitian lainnya tidak menyebutkan secara rinci tentang perbedaan gender dari korban bully di sekolah. Kaukiainen dkk, menemukan bahwa semua kelompok yang terlibat dalam bullying, pelaku laki-laki lebih mungkin untk didiagnosa dengan psychiatric disorder, dan gangguan yang paling umum pada pelaku adalah attention dficit hyperactivity disorder, depression dan oppositional defiant or conduct disorder. Bagaimanapun kemunculan bully , mungkin beragam ddari jenis bullying: pelaku wanita yang terlibat dalam relational bullying kemungkinan secara akademis dan emosional berfungsi lebih dari pada pelaku laki-laki yang terlibat dalam pysical bullying. Pelaku bulying secara tradisional adalah orang yang tidak populer, memiliki harga diri yang endah, dan kemampuan sosial yang rendah. Tapi peneliti menemukan bahwa kepercayaan ini tidk akurat dalam beberapa kasus. Banyak pelaku bullying, khususnya perempuan yang menggunakan teknik relational bullying, memiliki konsep diri yang tinggi dan kebutuhan kognisi sosial yang komplex serta manipulasi keterpaduan sosial bahwa mereka terlibat di dalamnya. Pada kenyataanya, banyak penelitian yang menemukan hubungan positif antara relational bullying dan pencapaian akademis. Hubungan terbalik ditemukan antara self efficacy akademis dan bentuk bullying lainnya.
Bagaimanapun, Sutton, dkk berargumentasi bahwa sedikitnya beberapa pelaku adalah seseorang yang memiliki kompentensi secara sosial dan unggul dalam kemampuan“teori dari pikiran”. Anak-anak ini memiliki level yang baik dalam intelegensi sosial dan mampu untuk mengerti yang lain, seperti (mental states), bahkan meskipun teori pikiran mereka dijumpai berperan penting sepenuhnya dan telah digunakan dalam Machiavellian way for personal advantages. Di dalam penelitian cinkir dan karaman kepenekci, perilaku seperti mendorong, menjuluki, mengejek, dan mengatakan seseuatu dengan konten sexual adalah yang frekuensi yang paling banyak dari jenis prilaku bullying.
Dampak dari level empaty pada peer bullying :
Emphaty adalah salah satu dasar dari kaitannya dalam memberikan bantuan. Empati secara umum didefinisikan sbagai berbagai merasakan perasaan orang lain. Menurut definisi lain, empaty adalah proses dalam menempatkan diri sendiri dalam posisi orang lain, melihat sebuah kejadian dari sudut pandang orang lain dan memahami perasaan dan ide orang lain secara benar dan mengekspresikan situasi ini. Dukungan empiris lainnya yang mengajukan hubungan antara low empathy dan perilaku bullying berasal dari penelitian tentang hubungan low empathy dan macam-macam bentuk perilaku antisocial yang termasuk perilaku kriminal yang menyakiti. Penemuan yang paling penting dari penelitian ini bahwa hubungan antara low empaty dan perilaku menyakiti sangat berkurang setelah kontrol dilakukan untuk intelegensi dan sama sekali menghilang setelah kontrol status sosial ekonomi. Itu menunjukan bahwa hubungan antara low empaty dan perilaku menyaiti kemungkinan tidak menjadi sebab akibat atau mengarah atau sebab akibat dari variable yang sudah diketahui untuk pengaruh offending. Sebagai contoh , intelegeni yang rendah atau sataus sosial ekonomi yang rendah kmungkinan menjadi sebab-akibat dari low empaty ( tingkat empaty yang rendah), yang mungkin menyebabkan penyebab dari offending; atau intelegensi yang rendah, tingkat empaty yang rendah dan offending may allbe caused by a poor ability to manipulate abstract concepts.
Akhir-akhir ini, meta-analysis yang dilakukan oleh jolliffe dan farrington, telah dirangkum dan hasilnya sudh disetujui bahwa ada hubungan positif antara perilaku antisosial dan tingkat empaty yang rendah. Penelitian yang dilakukan kepada anak-anak di umur 6-7 tahun menunjukan bahwa anak-anak dengan tingkat empaty yang rendah lebuh cenderung melakukan perilaku agresi daripada anak-anak dengan tingkat empaty yang tinggi dan anak-anak yang diberikan pelatihan empaty, menampilkan tidak adanya perilaku bullying. Feshbach and feshbach, setelah memberikan pelatihan empaty untuk siswan sekolah dasar, dilaporkan bahwa tingkat agresifitas anak-anak menurun, sementara self respect dan kompetensi sosial mereka diperkuat. Denham mengindikasi kan bahwa ketika anak-anak menyaksikan dan berbagi kesakitan orag lain mereka termotivasi membantu orang tersebut. Enderson dan Olewus melakukan penelitian bebas yang pertama yang secara spesifik menguki empaty dan bullying. Mereka bertujuan untuk melakukan penelitian gender dan perbedaan umur dalam perilaku empaty dan untuk menunjukan hubungan antara empaty, perilaku bullying, dan sikap yang dilanjutkan setelah bullying. Sample mereka diambil dari penelitian longitudinal dari 2286 siswa. Hasilnya, anak-anak yang dilaporkan dengan tingginya kepedulian empaty tidak berhubung postif dengan perilaku yang diteruskan oleh bullying dan tidak melakukan bullying.
Kesimpulan :
Bullying pada teman sebaya memiliki perbedaan hasil dalam istilah dari satu yang menampilkan perilaku, dan satu yang menunjkan dan satu lagi yang menyaksikan. Dampak kemampuan berempati pada penanganan bullying pada teman sebaya telah diterima dengan suatu penemuan ilmiah. Sikap dari siswa yang menampilkan perilaku bullying, dan satu yang menunujukan dan satu yang menyaksikan itu disekolah akan berubah sebagaimana mereka meningkat kemampuan berempati. Siswa yang mulai menyadari bahwa orang yang mereka bully itu akan terluka, jadi mreka akan cenderung untuk tidak menampilkan perilaku tersebut.
bullying
Tahun : 1999
Author : Myron-Wilson, Rowan
Abstract:
Penelitian ini menunjukan hubungan antara tipe kepribadian dan perbedaan dari jenis perilaku bullying. Data yang telah dikumpulkan dari 196 siswa dari 4 sekolah di London. Dan rata –rata umur mereka (subjek) adalah 9 tahun, dan anak-anak dengan macam-macam etnis. Anak-anak ditanyakan untuk mengajukan apakah kelompok mereka telah mengambil bagian dalam beberapa dari 20 jenis perilaku yang berbeda yang terkait dengan 6 peran partisipan: (1) bully (2) penguat/pendorong (3) asisten (4) pembela (5) orang luar (6) korban). Anak-anak ditugaskan mengkatagori dasar nominasi tertinggi teman sebaya mereka. Anak-anak juga melengkapi kuesioner untuk menilai persepsi mereka, tentang gaya pola asuh dengan pandangan untuk pola asuh yang memiliki warmth (kehangatan), accurate monitoring (pemantuan secara terus-menerus), overprotektif, punitiveness dan neglect (menelantarkan). Subsample dari 39 orang tua yang melengkapi kuesioner yang mengukur antara pola asuh warmth dan restrictiveness. Sebuah penemuan mengungkapkan bahwa 27 orang dari subjek adalah calon pelaku, 15 orang adalah pendorong si pelaku, 12 orang adalah asisten si pelaku, 86 orang adalah pembela korban, dan 35 orang lainnya adalah korban. Pendorong si pelaku memiliki skor yang secara signifikan rendah pada pola asuh warmth. Asisten si pelaku memiliki skor yang secara signifikan tinggi pada pola asuh neglect (menelantarkan/mengabaikan). Korban memiliki skor yang secara signifikan tinggi dengan pola asuh pusitiveness. Anak-anak yang dinominasi sebagai pendorong si pelaku juga memiliki skor yang secara signifikan tinggi pada pola asuh punitiveness. Orang tua melihat diri mereka secara signifikan lebih hangat daripada yang telah dilakukan anak-akan mereka. Orang tua dari anak-anak yang dinominasi sebagai peran orang diluar kasus, melihat diri mereka sendiri secara signifikan lebih nurturant daripada orang tua dari anak-anak pada peran lain. Orang tua dari korban melihat diri mereka sendiri menjadi lebih restrictive daripada yang telah dilakukan orang tua pada anak-anak dengan peran lain.
Landasan Teori:
Bullying adalah suatu hal yang mengejutkan yang sulit untuk didefinisikan sebagai fenomena. Bagaimanapun terlepas dari perbedaan definisi yang diberikan oleh peneliti yang berbeda-beda, secara umum kesepakatan bahwa bullying termasuk dalam 6 elemen (Farrington,1993):
• Bisa terlibat dalam serangan fisik, verbal atau psikologis atau intimidasi
• Pelaku bullyig adalah orang yang lebih kuat daripada korban
• Bully bermaksud menyebabkan ketakutan atau kesakitan dari korban
• Aksi yang dilakukan ke korban sringkali tidak beralasan
• Aksi ini dilakukan berulang
• Aksi ini menghasilkan dampak yang diinginkan
Bullying-the problem :
Bullying adalah masalah utama pada sekolah-sekolah di inggris, sekitar 20% anak-anak melaporkan telah terlibat sebagai pelaku ataupun korban (Whitney&Smith, 1993). Sekolah yang berbasis penanganan telah sukses dalam mengurangi perilaku bullying sampai 50% (olwweus, 1993; Smith&Sharp, 1994), tapi itu belum mampu untuk menghapus perilaku tersebut. Disana telah muncul untuk menjadi hard core dari anak-anak yang tinggal dan tidak terpengaruh oleh arus strategi penanganan. Ini mungkin menjadi penyebab personal ata backgrounds keluarga yang telah membentuk anak sebelum masuk ke dunia sekolah.
Pentingnya keluarga:
Setelah masa kanak-kanak, kelompok teman sebaya menjadi peran penting dalam menjadi perilaku antisosial (Patterson, 1989). Bagaimanapun, dalam masa pra-sekolah dan pertengahan masa kanak, pola asuh dan etos keluarga adlah kunci faktor dalam membentuk perilaku anak-anak. Penelitian yang lalu telah mendemonstrasikan hubungan antara pola asuh restrinctive dan masalah sosial anak-anak. Secara konsisten telah ditemukan bahwa orang tua yang memaksakan kehendak dan mengkontrol penuh akan memiliki anak yang lebih agresif dan memiliki kemamapuan sosial yang rendah daripada teman-teman sebayanya.
Penelitian sebelumnya :
Manning dkk, (1978) menemukan bahwa anak-anak dengan orang tua yang over-controlling dan orang tua yang mendominasi ditemukan untu melakukan pelecehan teradap anak lainnya lebih sering di sekolah. Loeber & dishion (1984) melaporkam bahwa orang tua yang berlatih secara konsisten atau sangat disliplin, pasangan yang menghukum dengan fisik akan lebih mungkin memiliki anak yang lebih agresif untuk dilanjutkan ke yang lain. Penelitian akhir-akhir ini menemukan kesamaan penemuan yang mengarah ke hubungan prilaku bullyig. Olweus (1980,1993) telah menemukan bahwa over protective dari ibu akan terkait dengan satus korban, sebagaimana pola negatif dan pola asuh neglecting. Bowers, smith dan binny (1994) juga memiliki kaitan antara pola asuh over protective dan korban( see smith & myron-willon, 1998 for a full review). Journal ini akan menunjukan kaitan antara gaya pola asuh dan perbedaan jenis perilaku bullying.
Hypotesis:
I: persepsi anak-anak dari gaya pola asuh orang tua mereka akan berbeda menurut peran partisipan mereka (keterlibatan) dalam bullying.
II: banyak anak-naka yang melihat orangtua mereka sebagai restictive dan lebih mungkin mereka teribat dalam bullying.
Partisipan:
Data dikumpulkan dari 196 sekolah, dari 8 kelas ( 4 sekolah) local untuk london tenggara. Range umur 7-10 ( rata-rata umur 9). Anak-anak dengan macam-macam etnis, 50% dari afro-carribean, 40% caucasian dan 10% asian. Ratio gender kira-kira 52% (102) perempuan dan 48% (94) laki-laki. Setiap nak telah dilihat secara individual di dalam sekolah.
Measures:
Partisipan role scale (see sutton, smith &sweetenham, 1999)
Anak-anak ditnyakan untuk menominasi apakah teman sebaya mereka mengambil bagian dari 20 tipe dari perilaku bullying, ‘kadang-kadang’ (score1) atau ‘lebih sering’ (score 2) pada 6 skala pelaku, pedorong pelaku, asisten, pembela, orang lain, dan korban. Skor secara keseluruhan dibagi ke beberapa nomonaso untuk mencapai standarisasi sakal skor peran partisipan. Anak-anak ditugaskan berdasrakan peran partisipan pada nominasi tertinngi teman sebaya mereka dan juga memberikan satndarisasi skala skor peran partisipan untuk setap skala.
Kuesioner gaya pola asuh:
Pengukura di deseain untuk menilai persepsi anak-anak pada gaya pola asuh orang tua mereka dari lima sub-scales: warmth(nurturance), acc monitoring ( nurturang control), over protection, punitiveness (control) dan neglect( absences control). Terdapat 30 total item dan anak-anak memposting berdasarkan label box seperti ‘ sangat seperti mama saya’ sedikit seperti mama saya’ dan ‘sama sekali tidak seperti mama saya. Dari skor anak-anak yang diberikan total skor pada setiap dimensi gaya pola asuh.
Analysis:
Dengan menggunakan skala partisipan peran, anak-anak dminta menilai katagori yang menjadi nominasi teman sebaya paling tiggi menurut mereka.
• 27 anak di nominasi menjadi pelaku, 15 sebagai pendorong si pelaku, dan 12 menjadi asisten si pelaku
• 86 anak dinominasi menjadi pembela korban
• 21 anak di klaim tidak terlibat pada situasi
• 35 anak di nominasi sebagai korban
Anak-anakjuga memberikan skor untuk setiap skala partisipan menurut anka dari nominasi kelompok eman sebaya yang mereka terima.
Kesimpulan :
Hipotesis pertama medukung , persepsi anak-anak dari orang tua mereka, gaya pola asuh telah berbeda menurut keterlibatan mereka dalam bullying. Hypotesis kedua tidak mendukung. Anak-anak dalam peran bully kedua ( sebagai pertentangan dari dasar, biang keladi bully) yang telah muncul untuk melihat orang tua mereka yang rendah kehangatan dan tinggi pengabaian , tetapi tidak tinggi dalam restrictive atau pola asuh punitive. Korban, bagaimanapun, telah melihat orang tua mereka sebagain pola asuh puntive yang tinggi. Dari perspektif orang tua ( mereka melaporkan diri pada orang tua mereka) orang tua korban melihat diri mereka sendiri yan tinngi pada pola asuh restrictive.
Tahun : 2006
Author : Stelios N. Georgiou
Background. Literatur dari belajar sosial telah digunakan dalam rangka untuk menggambarkan parameter konteks dari agresi teman sebaya dan perilaku bullying dan korbannya secara spesifik
Aim. Tujuan dari penelitian yang dipersentasikan untuk menguji pengaruh dari karakteristik ibu pada anak mereka sebagai korban atau pengalaman bullying di sekolah.
Sample. Partisipannya adalah 252 siswa sekolah dasar (rata-rata usia 11.5 tahun) dan ibu mereka
Metode. Secara teoritical model terdorong dikembangkan dan kemampuan itu untuk menyesuaikan data yang telah di tes. Faktor utama yang termasuk dalam model yang mengikuti: gaya pola asuh sebagaimana yang dirasakan oleh anak-anak, laporan diri dalam keterlibatan pola aush, emosi dasar ibu, dan tingkat dari pengalaman korban disekolah.
Result. Meskipun faktor analisis yang disetujui menunjukan bahwa responsitivitas ibu memiliki relasi yang positif terhadap penyesuaian anak-anak disekolah ( seperti pencapaian dan adaptasi sosial), sementara pada faktor yang sama memiliki realsi yang negatif pada sikap agresi di sekolah (bullying dan perilaku yang menggangu). Pola asuh ibu yang overprotektif terkait dengan tingginya tingkat pengalaman anak-anak yang menjadi korban, sedangkan _______ ber-relasi untuk keduanya, korban dan perilaku bullying pada anak-anak.
Kesimpulan. Orang tua harus terlibat dalam mendesain tujuan rencana penanganan pada penghapusan perilaku bullying di sekolah.
Landasan teori
Perilaku bullying dimulai di rumah (Patterson, 1982, 1986). Anak belajar untuk menjadi agresif ke arah lainnya, khususnya yang lebih lemah dibandingkan mereka, dengan mengamati interkasi setiap hari di anggota keluarga mereka. Orang tua yang mengalami stress karna masalah financial, pernikahan ataupun masalah pribadi cendrung untuk memiliki komunikasi yang buruk dengan anak-anak mereka, untuk menjadi bermusuhan atau memiliki jarak dan untuk menggunakan cara ekstrim dalam usaha untuk melaksanakan kedisplinan. Penelitian menunjukan bahwa teknik pola asuh orang tua yang sangat keras dan hukuman yang tidak konsisten, seringkali mengarahkan anak untuk bersikap agresi (Loeber & Stouthamer-louber, 1986). Korban juga berhubungan dengan karakeristik keluarga. Bukti menunjujan bahwa anak yang berpengalaman menjadi korban lebih mungkin daripada anak yang tidak menjadi korban di teman sebaya mereka untuk datang dari keluarga yang memiliki sejarah kekerasan anak-anak, kelekatan yang buruk dan buruknya menangani konflik ( Perry, Perry & Kennedy, 1992).
Patterson, Reid dan Dishion (1992) sejauh ini mengklaim bahwa anggota dalam beberapa keluarga langsug melatih anak untuk melakukan aktivitas anti-sosial dengan menjadi non-kontingen dalam penggunaan mereka dari keduannya penguatan positif untuk sikap prososial dan hukuman yang efektif untuk tingkah laku yang tidak diingikan. Penelitian ini menggambarkan bagaimana orang tua dan saudara kenyataanya menguatkan perilaku negatif yang dilakukan dengan memperhatikan, menertwakan atau menyetujui perilaku ini, sementara penolakan perilaku positif ketika itu ditunjukan. Analisis rantai paksaan antara anak, ibu dan saudaranya, Loeber dan Tengs (1986) menyimpulkan bahwa perilaku agresif anak dalam lingkungan sosial adalah karakteristik oleh seringnya serangan yang dilakukan anggota keluarga. Ibu dari anak yang agresif cenderung untuk tidak menindak lanjuti penanganan mereka ketika perilaku agresif berlanjut; mereka tidak konsisten dalam menangani dan kurang efektif dalam membatasi konflik yang terjadi.
Meskipun telah sedikit penelitian yang menghubungkan bullying dengan kepribadian dan gangguan saraf (Coolidge, DenBoer, & Segal, 2004) kebanyakan peneliti setuju bahwa tipe perilaku ini sebagian besar ber-relasi dengan banyak variable sosial dan secara spesifik dengan background keluarga yang agresif. Connolly and O’Moore (2003), untuk contoh telah mengidentifikasi tiap-tiap faktor sebagai ketiadaan ayah (fisik atau psikologis), kehadiran ibu yang depresi dan incindent kekerasan internal sebagai faktor yang meningkatkan perilaku bullying pada anak-anak. Banyak penelitian menyebutkan sikap ibu dan khususnya overproektif sebagai korelasi dari korban (besag, 1989;Perren 7 Hornung, 2005). Korban merasakan keluarga mereka sebagai kontrol dan orang tua mereka sebagai overprotektif (Stvens, De Bourdeaudhuij, & Van Oost, 2002). Bagaimanapun, keterlibatan pola asuh yang tidak dirasakan sebagai overprotection tidak dirasakan anak-anak sebagai sesuatu yang berhubungan negatif dengan perilaku bullying (Flouri & Buchanan, 2003).
Beberapa penulis menyarankan bahwa jenis kelamin anak-anak adalah variable yang signifikan dalam menetapkan keterlibatan dalam victimization. Secara spesifik, Finnegan, Hodges, and Perry (1998) menyatakan bahwa pola asuh menghambat perkembangan kompetensi terkait gender dan hasil pada victimization. Penelitian mereka menunjukan bahwa anak laki-laki yang menjadi korban terkait dengan persaan overprotective dari ibu, sementara untuk anak-anak perempuan, variable yang sama terkait dengan perasaan penolakan dari ibu. Kesamaan, Rigby (1993), menunjukan bahwa korban anak-anak perempuan melaporkan hubungan yang negatif dengan ibunya, melalui pengamatan mereka yang menjadi lebih kritis, nge-boss dan kasar. Selanjutanya dorongan keluarga yang kurang kemandirian pada korban perempuan daripada laki-laki (Rican, Klicperova & Koucka, 1993). Di samping itu Nigg dan Hinshaw (1998) menemukan bahwa perilaku antisosial yang terbuka pada anak laki-laki pada neurotirisme ibu.
Penelitian lain telah menujukan bahwa perilaku nakal terkait dengan pola asuh penolakan, pola asuh pengawasn yang lemah dan kurang keterlibatan dengan anak (Cernkovich & Giordano, 1987). Hagan dan McCarthy (1997) berkomentar, orang tua yang memberikan perhatian untuk anak mereka, mengawasi mereka secara dekat dan berharap mereka sukses berperan penting dalam mengurangi kedua perilaku agresif, baik di keluarga ataupun di luar.
Mengenai gaya pola asuh (Baumrind, 1991), penelitian menunjukan bahwa pola asuh permisif (tinggi dalam menanggapi/memperhatikan and rendah dalam kontrol) merupakan prediksi terbaik pengalaman dari si korban, sementara gaya pola asuh atoriter ( rendah perhatian dan tinggi kontrol) merupakan prediksi terbaik dari perilaku bullying (Baldry & Farrington, 2000; Kaufmann, dkk, 2000). Berlawanan, Bowers, Smith dan BIney (1994) menemukan anak yang menjadi korban mengangap orang tua mereka overprotectif. Anak menjadi pelaku bully oleh teman sebaya mereka lebih mungkin untuk datang dari keluarga dimana orang tua menggunakan pola asuh otoriter, keras dan menghukum anak (Espelage, Bosworth, & Simon, 2000).
Penelitian sekarang
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji secara teoritis model yang didorong untuk menggambarka parameter keluarga dari bullying dan menjadi korban. Model termasuk dalam keduanya, diamati (diukur) variable nya dan faktor yang tersembunyi. Faktor ini telah diseleksi dari pengidentifikasian dalam literatur pengaruh sosial yang terkait dengan bullying dan korbannya. Yang utama adalah sbb:
1. Ibu yang tanggap (mother responsiveness). Penelitian awal telah menunjukan bahwa menanggapi kebutuhan anak-anak, adalah dengan memiliki hubungan penerimaan yang hangat, menjadi ada untuk mendiskusikan masalah anak dan membantu kesulitan yang merupakan relasi negatif dengan perilaku agresif (Cernkovich & Giordano, 1987; Hagan & McCarthy, 1997;Rigby, 1993). Olweus (1980) menggunakan konstruk yang berlawanan dalam modelnya dan menyebut itu sebagai ‘mother negativism’
2. Ibu yang overprotektif ( mother overprotectiveness). Terdapat bukti dalam literatur bahwa ketrlibatan pola asuh yang dirasakan anak-anak sebagai overprotektif, mungkin menghalangi inisiatif anak-anak dan membatasi kemampuannya untuk melindungi dirinya sendiri atau menanggapi secara efekyif dengan serangan pada korban oleh anak-anak lain. (Besag, 1989;Peren & Hornung, 2005;Stevens dkk, 2002). Bagaimanapun, hubungan tenporal antara ibu yang overprotektif dan korban, membutuhkan beberapa klarifikasi, karna menyimpan mengarahkan akibat yang mungkin juga benar. Dengan kata lain, ibu kemungkinan menjadi lebih takut untuk membiarkan anak mereka bermain dengan yang lain, masalah mungkin lebih tentang keamanan anak-anak dan lebih tentang anak secara umum sebagai hasil dari persepsi bahwa anak mereka menjadi target korban. Dengan kata lain, pertanyaannya adalah: apakah sikap overprotektif ibu membuat anak mereka mungkin untuk menjadi korban atau korban berpotential untuk mengubah ibu mereka menjadi orang yang lebih protektif?
3. Ibu yang depresi. (maternal depressiveness). Penelitian sebelumnya (Connoly & O’Moore, 2003; Nigg & Hinshaw, 1998) tlah menunjukan bahwa emosi dasar ibu dan kususnya depresi kornisnya kemungkinan terkait dengan perilaku bullying anak-anak mereka. Penjelasan ini menjadi mungkin bahwa depresi orang tua kemungkinan untuk pratek disiplin yang tidak konsisten dan diwaktu hukuman keras, keduanya yang berhubungan pada perilaku bullying ( Craig dkk, 1998; Loeber & Stouthamer-Loeber, 1986). Karna kondisinya, dia mungkin menjadi tidak mampu untuk menangani dan mengakhiri secara efektif perilaku agresif anak mereka, situasi itu kemungkinan mengarahkanya menjadi korban bullying oleh anaknya sendiri. ke-agresifan anak seringkali keduanya korban dari orangtua yang bersikap kacau dan pembangun dari paksaan sistem keluarga, dimana ibu tidak diakui korban (Patterson, 1980)
Disamping itu faktor relasi keluarga yang disbutkan diatas, mengikuti satu acuan atribut individual yang termasuk dalam model: pencapaian sekolah anak, penyesuaian sosial anak, tingkat agresi dan bullyig yang ditunjukan dan pengalaman viktimisasi disekolah.
Metode :
Kuesioner untuk bullying dan korbannya (BVQ)
Tiga faktor yang di ambil akutansi untuk 45,9% dati total perbedaan. Kriteria untuk seleksi faktor bahwa nilai eigenvalue harus lebih dari 1.00. Item kuesioner dengan memuat batasan melebihi .40
Kesimpulan:
Ibu yang responsif bebas untuk berbicara dengan anak mereka dan membantu mereka dalam menghadapi masalah yang timbul setiap hari nya dalam kehidupan anak. Dia menerima, dapat diandalkan oleh anak mereka sebagimana dia mendukung. Sebagaimana dapat dilihat dalam figur 1, memiliki sikap responsive tetapi bukan ibu yang over protektif memiliki dampak yang postif pada anak mereka. Yang paling jelas dari dampak ini adalah adaptasi yang lebih baik disekolah, termasuk pencapaian dan penyesuaian sosial. Pola asuh responsiveness dijumpai untuk melindungi anak yang menolak pengasingan dan pengucilan dari kelompok teman sebaya. Pengucilian sosial di sekolah mengurangi kemugkinan untuk muncul jika anak diterima dan mendapatkan kepedulian di rumah. Selanjutnya anak-anak yang diterima secara sosial dan terlibat dalam aktivitas kelas ataupun sekolah mengurangi kemungkinan untuk menunjukan perilaku agresif. Satu penjelasn yang mungkin adalah bahwa pola asuh responsiveness untuk kebutuhan anak-anak membantu anal-anak merasakan keamanan yang lebih dan meningkatkan harga diri mereka. Bagaimanapun set ini dari sikap pengasuhan model warmth (hangat), empathy, kindness (kebaikan) dan compassion (kasih sayang), dimana anak-anak mungkin meniru dalam hubungan teman sebaya mereka. Anak yang menunjukan sikap ini, menurut definisi akan menjadi tidak agresif. Anak ini kemudian lebih menerima teman sebaya mereka dan sebagai hasil mengurangi kemungkinan pegucilan sosial. Penemuan ini sejalan dengan laporan sebelumnya yang meng-klaim bahwa pola asuh rsponsive berhubungan positif dengan adaptasi sosial anak dan berhubungan secara negatif dengan sikap aggresif (Cernkovich & Giordano, 1987; Craig et al., 1998; Hagan & McCarthy, 1997; Olweus, 1980). Sebagaimana argumen Flouri dan Buchanan (2003), bahwa keterlibatan pengasuhan itu tidak dirasakan oleh anak yang overprotektif, secara negatif berhubungan dengan prilaku bullying.
Bagaimanapun, ketika keterlibatan pengasuhan melintasi garis tipis yang memisahkan itu dari overprotektif, masalah mulai muncul. Hasil dari penelitia ini menawarkan dukungan untuk penemuan sebelumnya bahwa pengasuhan ibu yang over protektif terkait dengan tinggimya resiko anak-anak yang menjadi korban di sekolah (Bowers et al., 1994; Perren & Hornung, 2005; Stevens et al.,2002). Tingginya kecemasan dan perlindungan dari ibu yang berlebihan mengubah anak mereka menjadi individu yang pasif dan pasraf yang tidak mampu utuk mengontrol urusan mereka. oleh karena itu, anak menjadi target yang mudah untuk menjadi korban. Itu akan membuat stress , meskipun, disana beberapa kasus, dalam konteks dimana kehidupan keluarga mungkin membutuhkan kewaspadaan orang tua yang tinggi. Dalam kata lain , tempat dimana adanya bahaya fisik ( lalu lintas yag padat, saluran yang terbuka) atau tingginya angka kriminal, ‘orang tua yang baik’ mungkin menjadi benar-benar enagga untuk membiarkan anak mereka bermai diluar tanpa pengawasan orang dewasa. Dengan kata. Lain, jumlah dari kebutuhan protektif untujk mendukung perkembanga optimal anak mungkin bervariasi dengan karakteristik dari lingkunan rumah anak dan lingkungan sekitar anak. Meskipun begitu, keduanya hasil Manova dan hasil analisis SEM dari ppenelitianini membenarkan penemuan sebelumnya *( Besag, 1989) bahwa pola asuh dengan perlindungan yang terlalu banyak di sekolah berorelasi dengan korban disekolah. Bahkan, meskipun secara statistik arah pengatur diatur (efek sebaliknya menghancurkan keuntungan dari model), secara logika disana masih menjadi pertanyaan dari apakah pola asuh overprotektif itu mengubah anak menjadi korban potensial dari bullying dari sekolah atau apakah kerapuhan anak-anak dan kekhawatiran korban lebih mungkin membuat ibu lebih protektif.
Penemuan bahwa ibu yang depresi cenderung untuk memiliki anak yang agresif dan itu bukan hal yang baru dalam relevan literatu (Connoly & O’Moore, 2003). Study yang ditampilakn membenarkan penemuan ini. Sebuah penjelasan dari hasil spesifik gender mungkin bahwa anak laki-laki, yang bersosialisasiuntuk lebih secara fisik dalam perlak meeka daripada anak perempuan, dibutuhkan monitoring yang lebih konsisten, dimana mereka tidak memiliki, if ibu mereka atau pelindung mereka yang lain, terluka karana depresi. Ibu yang depresive bisa mengaktifasi perilaku bullying dari anak mereka karena moodnya yang labil bisa memimpin untuk melecehkan dan hukuman yang tidak irasional. Yang menarik, dia bisa juga mendukung kecendrungan korban, semenjak dia tidak mampu untuk membantu anak untuk menghadapi serang bullying oleh anak lain. Oleh karena itu, sikap sakit saraf hariannya di rumah mengkontribusi untuk rendahnya harga diri pada tahap perkembangan anak, diana pada sebaliknya membuatitu renan untuk korban. (Besag, 1989; Olweus, 1980. Lagi, arah dari pengaruh tetap dipertanyakan. Siapa korbannya? Apakah itu anak dari oarang tua yang depresi, atau ibu dari anak yang agresive ? Patterson (1980) menunjukan, bahwa kesulitan dan tempramental anak mungkin lebih memperoleh tanggapan yang meghukum dari orang tua. Khususnya orang tua yang mempunyai masalah emosional meraka. Tiap interaksi bisa meningkatkan kedalam kejadian dari hukuman fisik dari anak. Ini pada akhirnya mungkin karna meningkatnya agresi anak terhadap ibu yang depresi yang berakhir menjadi mongkin lebih depresi dan tidak bisa menolong, yidak mampu mengontrol sikap anak mereka.
Penelian menunjukan dukungan beberapa penemuan awal yang sehubungandengan hubungan anatar bullying, korban, dan pencapaian disekolah. Hal ini sejalan dengan pemesanan diungkapkan oleh Toblin, Schwartz,Gorman, dan Abou-Ezzeddine (2005) mengenai masalah ini dan mempertanyakan hasil dari Baldry dan Farrington (2000). Namun, berbeda dengan Woodsa dan Wolke (2004) penelitian ini menemukan bahwa sikap bullying dan pencapaian sekolah berhubungan negatif dalam level signifikan statistik. Sebuah penjelasan tentang ini mungkin bahwa pengalaman korban di sekolah, khusunya, satu yang ringan sebagai kasus dari penelitian sekrang, mungkin melukai anak seacar emosional, tetapi tidak mehalangi anak-anak dari belajar, dan oleh karena itu, performanya dalam kelas tidak menjadi masalah yang serius. Kenyataannya, pencapaian yang tinggi bisa menjadi alasan untuk menetapkan perbedaan anak dan targetnya untuk mendapatkan korban. The inconclusiveness dan kebingungan dalam literatur yang relevan mengenai hubungan antara prestasi sekolah dan korban mungkin terkait dengan kegagalan peneliti untuk menentukan peran anak dalam rantai koersif. Itu sudah ditunjukan untuk contoh bahwa, pelaku dan korban yang agresif memiliki pencapaian yang rendah sementara korban yangpasif memiliki pencapaian yang tinggi (Austin & Joseph, 1996; Patterson, 1986; Wolke, Woods, Bloomfield, & Karstadt, 2000).
Penelitian ini menambahkan litratur pada parameter keluarga dari bullying dan pengalaman korban di sekolah oleh pengajuan model teoritis dan meliputi beberapa jenis dari perilaku pola asuh dan menguji secara empiris ketahanan dari model ini.
Penilaian Pusat dari model hipotesis apriori terhadap data ituberdasarkan analisis faktor konfirmatori, yang merupakan bagian dari kelas yang lebih umum disebut pendekatan pemodelan persamaan struktural. Analisis faktor konfirmatori digunakan untuk menguji model pengukuran yang diamati variabel menentukan konstruksi laten atau variabel laten (McDonald, 1985). Secara keseluruhan, hasil analisis ini adalah bahwa model yang diuji memiliki kecocokan . Hal ini menunjukkan bahwa:
a. Para muatan faktor mencerminkan hubungan antara indikator tertentu dan sesuai laten konstruksi, dan
b. Model data berbasis hipotesis cukup dapat menjelaskan struktur pola asuh ibu dan perilaku bullying anak dan pengalaman korban di sekolah.
Model di atas dapat berguna bagi pendidik, psikolog sekolah dan pekerja sosial yang berurusan dengan perilaku agresif antara pada kelompok teman sebaya. Para praktisi dapat meningkatkan efektivitas strategi intervensi mereka dengan orang tua termasuk dalam seluruh upaya. Orang tua perlu dididik dan diinformasikan tentang bullying dan masalah korban.
Mereka perlu mengetahui tanda-tanda masalah ini dan belajar cara berkomunikasi dengan anak-anak mereka tentang kesulitan terkait bahwa mereka mungkin mengalami di sekolah (Craig et al, 1998;. Patterson, 1980). Mereka juga perlu dilatih tentang cara untuk mengakhiri peristiwa agresif antara anak-anak di rumah (Loeber & Tengs, 1986). Selain menjadi penerima pelatihan, orang tua juga bisa menjadi mitra dalam seluruh upaya menghilangkan bullying di sekolah sejak fenomena ini berakar di rumah. Dua catatan untuk berhati-hati adalah karena pada saat ini:
1. Hanya sebagian kecil dari partisipan dapat dicirikan sebagai pengganggu atau korban sesuai dengan kriteria yang ditentukan dalam literatur (Besag, 1989; Olweus, 1993). Sebagian besar dari mereka berasal dari populasi umum siswa khas yang telah dihadapkan dengan bentuk ringan dari agresi di sekolah. Oleh karena itu, perbedaan keterkaitan antara faktor-faktor yang relevan bisa ditemukan jika sampel hanya terdiri dari kasus-kasus ekstrim. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk tidak memeriksa perilaku subkelompok klinis siswa yang terlibat dalam tindakan-tindakan agresif yang serius. Sebaliknya, penelitian ini membahas fenomena agresi sekolah sebagai sebuah kontinum,bukan sebagai konstruk bipolar (agresif-non-agresif).
2. Korelasi tidak berarti sebab-akibat. Meskipun prosedur pemodelan persamaan struktural memungkinkan peneliti untuk menentukan arah pengaruh yang ada antara dua faktor, itu masih salah untuk berbicara tentang hubungan sebab dan akibat. Dengan kata lain, kita tidak bisa mengklaim bahwa seorang ibu depresi, misalnya, adalah alasan mengapa anaknya menderita korban atau menunjukan perilaku bullying di sekolah. Sebaliknya, kita bisa mengatakan bahwa keberadaan seorang ibu depresi di rumah dan interaksi sehari-hari dengan suasana hati tidak stabil nya adalah salah satu faktor yang meningkatkan kemungkinan anaknya mengalami agresi, baik sebagai pengganggu atau sebagai korban.
Kecenderungan saat ini adalah untuk konsep pengasuhan sebagai prestasi bersama antara orang tua dan anak-anak mereka (Snyder et al., 2005). Anak-anak adalah kontributor aktif untuk berinteraksi dengan orang tua mereka. Meskipun orang tua memiliki kekuatan untuk menegakkan kepatuhan pada anak-anak, perbedaan perilaku anak-anak dapat menyebabkan perbedaan dalam respon orangtua (Bell & Harper, 1977). Namun, sulit untuk menangkap dalam penelitian empiris sarana yang orang tua dan anak-anak dalam membangun hubungan mereka (Collins, Maccoby, Steinberg, Hetherington, & Bornstein, 2000). Lebih banyak penelitian longitudinal yang diperlukan untuk memperjelas penyebab-dan-efek hubungan yang mungkin ada di antara faktor-faktor ini.
Judul : Peran persepsi keharmoisan keluarga dan konsep diri terhadap kecenderungan
kenakalan remaja
Tahun : 2007
Author : Ulfah Maria
Landasan teori
Kecenderungan Kenakalan Remaja adalah kecenderungan remaja untuk
Jensen (dalam Sarwono, 2002) membagi kenakalan remaja menjadi empat bentuk yaitu:
Hurlock (1973) berpendapat bahwa kenakalan yang dilakukan remaja terbagi dalam empat bentuk, yaitu:
Konsep Persepsi Keharmonisan Keluarga :
Hawari (dalam Murni, 2004) mengemukakan enam aspek sebagai suatu pegangan hubungan perkawinan bahagia adalah:
Keenam aspek tersebut mempunyai hubungan yang erat satu dengan yang lainnya. Proses tumbuh kembang anak sangat ditentukan dari berfungsi tidaknya keenam aspek di atas, untuk menciptakan keluarga harmonis peran dan fungsi orangtua sangat menentukan, keluarga yang tidak bahagia atau tidak harmonis akan mengakibatkan persentase anak menjadi nakal semakin tinggi (Hawari, 1997).
Konsep dari Konsep diri :
Aspek yang tercakup dalam konsep diri pada penelitian ini mengacu pada aspek-aspek yang dikemukakan Berzonsky (1981) & Fitts (dalam Burns, 1979), yaitu:
Berzonsky (1981) mengemukakan bahwa aspek-aspek konsep diri meliputi:
Spesifikasi Item :
Terdapat 74 item yang terdiri dari item kecendrungan kenakalan remaja, item persepsi keharmonisan keluarga, dan item konsep diri. Ketiga skala ini menggunakan model skala likert yang terdiri dari 4 alternatif pilihan jawaban yaitu: sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS). Skor dalam setiap aitem berkisar dari 4 sampai dengan 1 diberikan untuk aitem yang bersifat favourable, sedangkan untuk unfavourable bergerak dari 1 sampai 4.
Item kecenderungan kenakalan remaja
Terdapat 21 item untuk mengukur skala kecendrungan keluarga. Makin tinggi skor yang diperoleh subjek berarti semakin tinggi kecenderungan kenakalan pada remaja tersebut, demikian juga sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh subjek berarti semakin rendah kecenderungan kenakalan pada remaja tersebut.
Item persepsi keharmonisan keluarga
Terdapat 25 item untuk mengukur persepsi keharmonisan keluarga. Makin tinggi skor yang diperoleh subjek berarti semakin positif persepsi terhadap keharmonisan keluarganya, demikian juga sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh subjek berarti semakin negatif persepsi terhadap keharmonisan keluarganya.
Item konsep diri
Terdapat 18 item untuk mengukur konsep diri. Makin tinggi skor yang diperoleh subjek berarti semakin positif konsep dirinya, demikian juga sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh subjek berarti semakin negatif konsep dirinya.
Populasi penelitian
Populasi penelitian adalah remaja diseluruh Indonesia yang berusia 13 – 16 tahun, namun sample penelitian diambil siswa SMPN 20 Surakarta Jawa Tengah, Pengambilan sampel
menggunakan teknik purposive sampling dengan karakteristik subjek sbb:
1. Remaja awal yang berusia antara 13-16 tahun (Hurlock, 1999).
2. Laki-laki dan perempuan.
3. Bukan anak tunggal.
4. Tinggal bersama orangtua.
Pemilihan subjek ini menggunakan teknik kuota random sampling. Semua kelas dari sekolah tersebut ditetapkan menjadi sampel yaitu siswa kelas 1, 2 dan 3 lalu diundi dan terpilih siswa kelas 3 yang berjumlah lima kelas sebanyak 199 orang.
Dengan demikian diperoleh 120 orang dari siswa kelas 3 tersebut. Dari 120 set skala yang disebarkan hanya 117 set skala yang utuh dan sesuai dengan karakteristik subjek yang diinginkan. Karena satu orang subjek tidak mengisi skala dengan lengkap dan dua subjek lainnya merupakan anak tunggal.
Uji Validitas Alat ukur :
Salah satu cara yang sederhana untuk melihat apakah validitas isi telah terpenuhi adalah dengan melihat apakah butir-butir dalam skala telah ditulis sesuai dengan blue print-nya, yaitu telah sesuai dengan batasan kawasan ukur yang telah ditetapkan semula dan memeriksa apakah masing- masing butir telah sesuai dengan indikator perilaku yang akan diungkap.
Uji Reabilitas Alat ukur
Estimasi keandalan skala kecenderungan kenakalan remaja, skala persepsi terhadap keharmonisan keluarga, dan skala konsep diri dihitung dengan menggunakan formula koefisien Alpha Cronbach.
Judul : DIFFERENCE OF AGGRESSIVENESS AMONG STUDENTS OF SMU
MUHAMMADIYAH 1 YOGYAKARTA BASED ON THE UPBRINGING PATTERNS
AND PARENTS’ OCCUPATION
Tahun : 2005
Author : Hanif
Landasan Teori
Kesadaran akan pentingnya pengelolaan aspek-aspek psikologis dewasa ini semakin meningkat. Ini terindikasikan dari banyaknya seminar, diskusi, bahkan training yang dilaksanakan oleh beberapa lembaga tertentu seperti training Manajemen Qalbu (Hernowo, 2002: 8), training Emotional Spiritual Quotient (ESQ) Leadership (Agustian, 2002: xxxviii), dan sejenisnya. Pengelolaan aspek-aspek psikologis ini tentunya bertujuan dalam rangka menangani penyakit-penyaki tpsikis yang belakangan banyak muncul. Penyakit-penyakit psikis ini seperti stress dan frustasi yang merupakan stimulus/emosi terkondisikan, akhirnya dapat
menyebabkan munculnya tingkah laku agresif (Koeswara, 1988:15). Penyakit-penyakit seperti ini biasanya terjadi pada siswa-siswi yang mulai menginjak remaja. Keinginan untuk menunjukan eksistensi dirinya dan pencarian jati diri kadang membuat mereka berperilaku ‘over’ yang bisa membahayakan diri mereka atau orang lain. Banyaknya orang tua yang sibuk mengurusi pekerjaan dan bersikap bebas sering melupakan perkembangan psikis (emosi) anak. Anak kemudian cenderung agresif untuk meluapkan semua keinginannya karena merasa tidak ada yang melarang dan membimbing mereka. Pola asuh yang tepat akhirnya menjadi faktor yang penting dalam pendidikan anak. Menurut Baumrind (1971: 178), pola asuh pada prinsipnya merupakan parental control (kontrol orang tua). Kohn (1971: 124) juga menyatakan bahwa pola asuh merupakan cara berinteraksi antara orang tua dengan anaknya, yang meliputi pemberian hukuman, hadiah, pemberian perhatian, serta tanggapan terhadap perilaku anak. Demikian pula diungkapkan Hadinoto (1979: 78) bahwa peranan dan bantuan orang tua kepada anak akan dapat tercermin dalam pola asuh yang
diberikan kepada anak. Tujuan pola asuh menurut Hurlock (1973: 134) adalah untuk mendidik anak agar dapat menyesuaikan diri dan diterima oleh lingkungan masyarakatnya (sosial). Bila anak menunjukkan perilaku agresif, yang tentunya mengganggu lingkungan sekitarnya sehingga menyebabkan anak merasa terisolasi oleh lingkungannya, maka dapat dikatakan bahwa anak tersebut tidak dapat menyesuaikan diri dan tidak diterima oleh lingkungannya. Dengan demikian, pentinglah kiranya pola asuh orang tua yang tepat agar anak dapat mengendalikan perilaku agresifnya. Pola asuh yang tepat menjadi sangat penting karena anak akan belajar sesuatu yang diinginkan dan diharapkan oleh masyarakat sehingga anak dapat mengendalikan
perilakunya. Orang tua sebenarnya juga sadar bahwa orang tua akan dianggap baik jika bisa mendidik anak dengan sebaik-baiknya. Akan tetapi, terkadang karena kesibukan orang tua, misalnya orang tua (ayah dan ibu) sama-sama bekerja, maka pola asuh yang diterapkan mempunyai porsi yang sedikit atau bahkan terabaikan sama sekali. Sebagian orang tua beranggapan bahwa anak sudah bisa memilih dan menentukan sesuatu sendiri. Kebebasan yang longgar diberikan kepada anak untuk memilih dan melakukan sesuatu sesuai keinginannya. Mereka beranggapan bahwa kebutuhan anak bisa dicukupi dengan materi atau lebih khusus lagi bisa dipuaskan dengan uang. Sementara kebutuhan anak tidak hanya berupa materi tetapi aspek
146 Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 6, No. 2, 2005: 144-154 psikis anak juga perlu diperhatikan. Karena itu, penerapan pola asuh yang dianggap tepat dan cocok dengan sendirinya akan menghasilkan anak-anak yang berkembang menuju dewasa dengan baik pula. Dalam penerapan pola asuh ini juga berkaitan erat dengan jenis pekerjaan orang tua. Pola asuh merupakan salah satu hal penting yang harus diperhatikan orang tua sebagai suatu kebutuhan untuk mengembangkan kemampuan anak. Sementara itu, untuk memenuhi kebutuhan dalam kehidupannya tidak bisa lepas dari masalah pekerjaan. Menurut Maslow (dalam Manulang,1991: 94), kerja merupakan suatu cara untuk memuaskan kebutuhan secara bertingkat yang mempunyai fungsi ganda. Fungsi kerja yang pertama adalah untuk memperoleh sumber daya yang biasanya
berupa materi (uang) guna memenuhi kebutuhan. Fungsi kedua berhubungan dengan kedudukan atau peran sosial seseorang dalam masyarakat. Jenis pekerjaan tertentu akan berpengaruh secara psikologis terhadap pola asuh yang diterapkan. Berhubung dengan pekerjaan dianggap sebagai matapencaharian bagi setiap individu, maka tak urung bila seseorang (orang tua) merasa sukses dalam suatu pekerjaannya ia akan menunjukkan reinforcement (penguat) yang baik, yang salah satunya ditunjukkan dalam penerapan pola asuh, misalnya dengan memberikan keleluasaan penuh kepada anak (permisif). Sebaliknya, bila seseorang (orang tua) merasa tidak sukses dalam suatu pekerjaannya ia akan menunjukkan reinforcement yang kurang baik pula diantaranya dengan menunjukkan sikap yang sewenang-wenang kepada anak (otoriter). Berdasar pada pemaparan di atas tampak bahwa kecenderungan pola asuh yang diterapkan orang tua dan jenis pekerjaan orang tua itu sendiri dapat mengendalikan perilaku anaknya, termasuk mengendalikan perilaku agresif. Dapat dilihat juga bahwa pola asuh orang tua mempunyai hubungan dengan jenis pekerjaannya karena pola asuh merupakan salah satu kebutuhan yang harus dipenuhi orang tua. Dalam jenis pekerjaan orang tua ini dapat dilihat apakah orang tua mempunyai aturan dalam mendidik yang ketat dan keras atau kelonggaran dalam mendidik. Misalnya jenis pekerjaan orang tua yang militer akan menerapkan disiplin
dan aturan yang ketat dalam mendidik anaknya, sementara orang tua yang jenis pekerjaannya wiraswasta akan menerapkan pola asuh yang tidak ketat. Selain itu, secara sosial, jenis pekerjaan mempunyai hubungan agresivitas karena harapan orang tua dalam membimbing dan mendidik anak adalah supaya anak diterima oleh masyarakat. Hasil didikan itu bisa dilihat dari perilaku anaknya. Dalam pola asuh, untuk mendidik dan memelihara anak, kebutuhan materi dan moral merupakan hal yang penting. Kebutuhan materi berhubungan dengan jenis pekerjaan orang tua, sedangkan kebutuhan moral berhubungan dengan pola asuh atau pendidikan yang diterapkan orang tua. Dengan demikian, pola asuh dan jenis pekerjaan orang tua saling dapat mempengaruhi dalam peningkatan atau penurunan agresivitas anak. Perbedaan Tingkat Agresivitas pada Siswa SMU Muhammadiyah I ... (Hanif) 147 Munculnya fenomena seperti perkelahian antarsiswa, perampokan yang dilakukan oleh siswa di beberapa daerah di Indonesia, khususnya di Yogyakarta
dewasa ini semakin marak. Di Yogyakarta para siswa SMU seringkali berkelahi antar sekolah ataupun antarkelas karena masalah-masalah sepele. Laporan terakhir menyatakan bahwa salah seorang siswa SMU Muhamadiyah I melakukan penyerangan ke salah satu SMU swasta di Yogyakarta sehingga mengakibatkan
meninggalnya salah satu siswa SMU tersebut (Kedaulatan Rakyat, 2002:1). Hal ini juga diperkuat oleh laporan dari kepala sekolah dan wakil kepala sekolah bagian hubungan masyarakat (humas) pada saat penulis observasi yang secara tidak langsung menyatakan bahwa SMU Muhammadiyah I saat ini lagi disorot karena peristiwa kekerasan yang baru terjadi. Itu semua merupakan fenomena-fenomena yang mengindikasikan perilaku agresif, sebagaimana dikemukakan Moore dan Fine (Verawati, 2001: 25) bahwa
tingkah laku agresif merupakan tingkah laku kekerasan secara fisik ataupun verbal terhadap individu atau terhadap objek. Demikian pula berdasar pada laporan biro konsultasi psikologi UGM yang dilakukan Haryanta (2000: 30) didapatkan bahwa beberapa kasus remaja adalah masalah hubungan interpersonal sehingga menimbulkan pertentangan (konflik) antar individu yang merupakan indikator dari tingkah laku agresif pula. Agresivitas merupakan kecenderungan manusia untuk melakukan agresi. Agresi umumnya diartikan sebagai segala bentuk tingkah laku yang disengaja, yang bertujuan untuk mencelakakan individu atau benda-benda lain. Menurut Moore dan Fine (dalam Verawati, 2001: 34) tingkah laku agresi adalah tingkah laku kekerasan secara fisik atau verbal terhadap individu atau objek. Aronson (1972: 105) menambahkan bahwa agresi adalah tingkah laku yang dimaksudkan untuk melukai orang lain, baik dengan
tujuan ataupun tanpa tujuan. Menurut Baron dan Byrne (1991: 142), perilaku agresif adalah segala bentuk perilaku yang disengaja untuk melukai orang lain dan ada usaha dari orang yang dilukai atau yang diserang untuk menghindar atau melawan. Tingkah laku agresi tidak hanya ditujukan kepada makhluk hidup, tetapi juga bisa ditujukan kepada objek lain yang dianggap sebagai sumber kesulitan yang menyebabkan frustasi (Gunarsa, 1980: 86). Agresi juga bisa berupa serangan terhadap sumber yang dianggap ancaman (Lazarus, 1976: 214). O Neal (Perlman dan Cozby, 1983: 91) mengungkapkan bahwa agresi adalah tingkah laku yang ditujukan untuk mencelakakan pihak lain. Buss (1973: 79) telah menguraikan bentuk-bentuk tingkah laku agresi ke dalam dua bentuk, yaitu: agresi fisik, misalnya memukul seseorang tanpa sebab; dan agresi verbal, misalnya memaki seseorang. Di samping bentuk-bentuk di atas, adapula bentuk-bentuk agresi lainnya sebagaimana dikemukakan Berkowitz (1995: 98) yang menekankan pada tujuannya, yaitu meliputi: (a) hostile aggression (agresi benci), 148 Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 6, No. 2, 2005: 144-154 yaitu melampiaskan keinginan untuk melukai atau menyakiti (tanpa tujuan) sehingga efeknya adalah terjadinya kerusakan, kesakitan, dan kematian pada sasaran atau korban.; dan (b) instrumental aggression (agresi instrumental), yaitu bentuk agresi yang dilakukan sebagai alat atau cara untuk mencapai tujuan tertentu, misalnya mahasiswa yang berbuat anarki dengan membakar gedung-gedung yang maksudnya
bukan membakar gedung tetapi untuk menurunkan presiden dari jabatannya. Pola asuh menurut Baumrind (1971: 178) pada prinsipnya merupakan parental control (kontrol orang tua). Kohn (1971: 147) menyatakan bahwa pola asuh merupakan cara orang tua berinteraksi dengan anaknya, yang di dalamnya meliputi pemberian aturan, hadiah, hukuman, dan pemberian perhatian serta tanggapan terhadap perilaku anak. Adapun Hadinoto (1979: 79) mengemukakan bahwa pola asuh yang diberikan akan tercermin dari peranan dan bantuan orang tua kepada anak.Tujuan pola asuh menurut Hurlock (1973: 251) adalah untuk mendidik anak supaya anak dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan sosialnya atau dapat diterima oleh masyarakat. Pola asuh sangat penting bagi anak karena anak dapat belajar tentang sesuatu yang hasilnya akan dapat diharapkan oleh masyarakat sekitarnya. Pola asuh juga akan berpengaruh dalam perilaku anak. Ada tiga jenis pola asuh yang banyak digunakan para orang tua yaitu: authoritarian, authoritative, dan permissive. Authoritarian mempunyai ciri-ciri di antaranya adalah: orang tua bertindak tegas, suka menghukum, kurang memiliki kasih sayang,kurang simpatik, suka memaksa anaknya untuk patuh terhadap aturan-aturan, berusaha membentuk tingkah laku serta cenderung mengekang keinginan anak. Orang
tua jarang memberikan pujian dan tidak mendorong untuk mandiri; hak anak sangat dibatasi sementara anak dituntut untuk mempunyai tanggung-jawab sebagaimana dengan orang dewasa. Anak harus tunduk dan patuh pada orang tua sementara orang tua sering memaksakan kehendak kepada anaknya. Kontrol terhadap perilaku anak sangat ketat, sering menghukum anak dengan hukuman fisik. Akibatnya, orang
tua cenderung banyak mengatur kehidupan anak. Authoritative bercirikan: hak dan kewajiban antara anak dan orang tua seimbang, mereka saling melengkapi antara satu dengan lainnya. Orang tua sedikit demi sedikit mulai melatih tanggung jawab dan menentukan tingkah laku anak itu sendiri menuju kedewasaannya. Dalam
melakukan tindakan, orang tua selalu memberikan alasan kepada anak dan bertindak objektif serta mendorong anak untuk saling membantu. Orang tua cenderung tegas tetapi juga hangat dan penuh perhatian. Akibatnya, anak akan tampak ramah, kreatif, percaya diri, mandiri, bahagia, serta memiliki tanggung-jawab sosial yang tinggi. Orang tua juga bisa bersikap bebas dan longgar, tetapi masih dalam batas-batas
normal. Adapun pola asuh permisif mempunyai ciri-ciri: orang tua memberikan kebebasan seluas mungkin kepada anak. Ibu memberikan kasih sayang yang banyak dan bapak bersikap sangat longgar. Anak tidak dituntut untuk belajar bertanggungjawab, anak diberi hak yang sama dengan orang dewasa. Anak diberi kebebasan Perbedaan Tingkat Agresivitas pada Siswa SMU Muhammadiyah I ... (Hanif) 149 yang seluas-luasnya untuk mengatur dirinya sendiri. Orang tua tidak banyak mengatur dan mengontrol sehingga anak diberi kesempatan untuk mandiri dengan menyeimbangkan kontrol internalnya sendiri (Baumrind, 1971: 199). Kehidupan manusia sehari-hari tidak dapat dipisahkan dengan masalah pekerjaan. Bekerja merupakan salah satu wujud dari aktivitas fisik dan mental. Kerja menurut Maslow (dalam Manulang,1991: 203) merupakan suatu cara untuk memuaskan kebutuhan secara bertingkat yang mempunyai fungsi ganda (dua fungsi). Fungsi yang pertama dari kerja adalah untuk memperoleh sumber daya atau penghasilan, yang biasanya berupa uang (materi) guna memenuhi kebutuhan; dan fungsi kedua berhubungan dengan kedudukan dan peran sosial seseorang dalam masyarakat. Pendapat ini diperkuat oleh Straus dan Sayles (dalam Andamari,1996: 23) yang menyatakan bahwa dengan bekerja seseorang akan memperoleh kepuasan dalam memenuhi kebutuhan fisik, sosial, psikis, dan rasa aman. Tanpa pekerjaan, seseorang akan mengalami kesulitan-kesulitan dalam menghadapi kehidupan, termasuk kesulitan dalam memenuhi kebutuhan untuk mendidik dan membimbing anak. Senada dengan pendapat tersebut, Blum (1995: 107) menyatakan bahwa kerja merupakan suatu bentuk aktivitas yang didukung oleh masyarakat (sosial) yang berbentuk penghargaan masyarakat atas aktifitas kerja, fungsi pekerjaan tersebut bagi masyarakat, dan dukungan dari diri sendiri berupa pencapaian tujuan. Dorongan yang melatarbelakangi pekerjaan bisa berupa kebutuhan untuk aktivitas
masyarakat, dorongan untuk menghasilkan sesuatu, memberi manfaat, mencapai prestise tertentu, memperoleh kekuasaan, serta pengakuan dan penghargaan dari orang lain. Berkaitan dengan status dan berbagai dimensi yang terdapat dalam pekerjaan, maka jenis pekerjaan yang banyak dilakukan oleh masyarakat di Indonesia dapat dikategorikan pada enam jenis pekerjaan, yaitu: karyawan perusahaan swasta, wiraswasta, buruh, tani, ABRI, dan pegawai negeri sipil (PNS).
kenakalan remaja
Tahun : 2007
Author : Ulfah Maria
Landasan teori
Kecenderungan Kenakalan Remaja adalah kecenderungan remaja untuk
melakukan tindakan yang melanggar aturan yang dapat mengakibatkan
kerugian dan kerusakan baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain
yang dilakukan remaja di bawah umur 17 tahun.
Persepsi keharmonisan keluarga adalah persepsi terhadap situasi dan kondisi dalam keluarga dimana di dalamnya tercipta kehidupan beragama yang kuat, suasana yang hangat, saling menghargai, saling terbuka, saling pengertian, saling menjaga dan diwarnai kasih sayang dan rasa saling percaya sehingga memungkinkan anak untuk tumbuh dan berkembang secara seimbang.
Konsep diri adalah pandangan atau penilaian individu terhadap dirinya
sendiri, baik yang bersifat fisik, sosial, maupun psikologis, yang didapat dari hasil interaksinya dengan orang lain.
Konsep Kenakalan Remaja :
Konsep kecenderungan kenakalan remaja didasarkan pada aspek-aspek kenakalan remaja yang dikemukakan oleh Hurlock, (1973) & Jensen (dalam Sarwono, 2002), yaitu :Jensen (dalam Sarwono, 2002) membagi kenakalan remaja menjadi empat bentuk yaitu:
- Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain: perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lain- lain.
- Kenakalan yang meninbulkan korban materi: perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan dan lain- lain.
- Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain: pelacuran, penyalahgunaan obat, hubungan seks bebas.
- Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, minggat dari rumah, membantah perintah.
Hurlock (1973) berpendapat bahwa kenakalan yang dilakukan remaja terbagi dalam empat bentuk, yaitu:
- Perilaku yang menyakiti diri sendiri dan orang lain.
- Perilaku yang membahayakan hak milik orang lain, seperti merampas, mencuri, dan mencopet.
- Perilaku yang tidak terkendali, yaitu perilaku yang tidak mematuhi orangtua
- dan guru seperti membolos, mengendarai kendaran dengan tanpa surat izin, dan kabur dari rumah.
- Perilaku yang membahayakan diri sendiri dan orang lain, seperti mengendarai motor dengan kecepatan tinggi, memperkosa dan menggunakan senjata tajam
Konsep Persepsi Keharmonisan Keluarga :
Hawari (dalam Murni, 2004) mengemukakan enam aspek sebagai suatu pegangan hubungan perkawinan bahagia adalah:
- Menciptakan kehidupan beragama dalam keluarga, sebuah keluarga yang harmonis ditandai dengan terciptanya kehidupan beragama dalam rumah tersebut, ada suasana agamis serta norma yang berlaku dalam keluarga berlandaskan norma-norma agama.
- Mempunyai waktu bersama keluarga, keluarga yng harmonis selalu menyediakan waktu untuk bersama keluarganya, seperti sekedar berkumpul, makan bersama, menemani anak bermain dan mendengarkan masalah dan keluhan-keluhan anak.
- Mempunyai komunikasi yang baik antar anggota keluarga, pola komunukasi yang baik akan tercipta dalam keluarga akan tercipta apabila setiap anggota keluarga saling terbuka baik anak dengan orangtua maupun orangtua dengan orangtua.
- Saling menghargai antar sesama anggota keluarga maksudnya setiap anggota keluarga selalu memberikan tempat bagi setiap anggota keluarga menghargai perubahan yang terjadi dan memberikan kesempatan bagi anggota keluarga untuk mengeluarkan pendapatnya.
- Kualitas dan kuantitas konflik yang minim, maksudnya dalam keluarga harmonis selalu berusaha menyelesaikan setiap permasalahan dengan bijaksana dan kepala dingin.
- Adanya hubungan atau ikatan yang erat antar anggota keluarga, terutama hubungan antara orangtua dengan orangtua dan anak dengan orangtua.
Keenam aspek tersebut mempunyai hubungan yang erat satu dengan yang lainnya. Proses tumbuh kembang anak sangat ditentukan dari berfungsi tidaknya keenam aspek di atas, untuk menciptakan keluarga harmonis peran dan fungsi orangtua sangat menentukan, keluarga yang tidak bahagia atau tidak harmonis akan mengakibatkan persentase anak menjadi nakal semakin tinggi (Hawari, 1997).
Konsep dari Konsep diri :
Aspek yang tercakup dalam konsep diri pada penelitian ini mengacu pada aspek-aspek yang dikemukakan Berzonsky (1981) & Fitts (dalam Burns, 1979), yaitu:
Berzonsky (1981) mengemukakan bahwa aspek-aspek konsep diri meliputi:
- Aspek fisik (physical self) yaitu penilaian individu terhadap segala sesuatu yang dimiliki individu seperti tubuh, pakaian, benda miliknya, dan sebagainya.
- Aspek sosial (sosial self) meliputi bagaimana peranan sosial yang dimainkan oleh individu dan sejauh mana penilaian individu terhadap perfomannya.
- Aspek moral (moral self) meliputi nilai- nilai dan prinsip-prinsip yang member arti dan arah bagi kehidupan individu.
- Aspek psikis (psychological self) meliputi pikiran, perasaan, dan sikap-sikap individu terhadap dirinya sendiri.
- Diri fisik (physical self). Aspek ini menggambarkan bagaimana individu memandang kondisi kesehatannya, badannya, dan penampilan fisiknya.
- Diri moral-etik (moral-ethical self). Aspek ini menggambarkan bagaimana individu memandang nilai- nilai moral-etik yang dimilikinya. Meliputi sifatsifat baik atau sifat-sifat jelek yang dimiliki dan penilaian dalam hubungannya dengan Tuhan.
- Diri sosial (sosial self). Aspek ini mencerminkan sejauhmana perasaan mampu dan berharga dalam lingkup interaksi sosial dengan orang lain.
- Diri pribadi (personal self). Aspek ini menggambarkan perasaan mampu sebagai seorang pribadi, dan evaluasi terhadap kepribadiannya atau hubungan pribadinya engan orang lain.
- Diri keluarga (family self). Aspek ini mencerminkan perasaan berarti dan berharga dalam kapasitasnya sebagai anggota keluarga.
Spesifikasi Item :
Terdapat 74 item yang terdiri dari item kecendrungan kenakalan remaja, item persepsi keharmonisan keluarga, dan item konsep diri. Ketiga skala ini menggunakan model skala likert yang terdiri dari 4 alternatif pilihan jawaban yaitu: sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS). Skor dalam setiap aitem berkisar dari 4 sampai dengan 1 diberikan untuk aitem yang bersifat favourable, sedangkan untuk unfavourable bergerak dari 1 sampai 4.
Item kecenderungan kenakalan remaja
Terdapat 21 item untuk mengukur skala kecendrungan keluarga. Makin tinggi skor yang diperoleh subjek berarti semakin tinggi kecenderungan kenakalan pada remaja tersebut, demikian juga sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh subjek berarti semakin rendah kecenderungan kenakalan pada remaja tersebut.
Item persepsi keharmonisan keluarga
Terdapat 25 item untuk mengukur persepsi keharmonisan keluarga. Makin tinggi skor yang diperoleh subjek berarti semakin positif persepsi terhadap keharmonisan keluarganya, demikian juga sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh subjek berarti semakin negatif persepsi terhadap keharmonisan keluarganya.
Item konsep diri
Terdapat 18 item untuk mengukur konsep diri. Makin tinggi skor yang diperoleh subjek berarti semakin positif konsep dirinya, demikian juga sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh subjek berarti semakin negatif konsep dirinya.
Populasi penelitian
Populasi penelitian adalah remaja diseluruh Indonesia yang berusia 13 – 16 tahun, namun sample penelitian diambil siswa SMPN 20 Surakarta Jawa Tengah, Pengambilan sampel
menggunakan teknik purposive sampling dengan karakteristik subjek sbb:
1. Remaja awal yang berusia antara 13-16 tahun (Hurlock, 1999).
2. Laki-laki dan perempuan.
3. Bukan anak tunggal.
4. Tinggal bersama orangtua.
Pemilihan subjek ini menggunakan teknik kuota random sampling. Semua kelas dari sekolah tersebut ditetapkan menjadi sampel yaitu siswa kelas 1, 2 dan 3 lalu diundi dan terpilih siswa kelas 3 yang berjumlah lima kelas sebanyak 199 orang.
Dengan demikian diperoleh 120 orang dari siswa kelas 3 tersebut. Dari 120 set skala yang disebarkan hanya 117 set skala yang utuh dan sesuai dengan karakteristik subjek yang diinginkan. Karena satu orang subjek tidak mengisi skala dengan lengkap dan dua subjek lainnya merupakan anak tunggal.
Uji Validitas Alat ukur :
Salah satu cara yang sederhana untuk melihat apakah validitas isi telah terpenuhi adalah dengan melihat apakah butir-butir dalam skala telah ditulis sesuai dengan blue print-nya, yaitu telah sesuai dengan batasan kawasan ukur yang telah ditetapkan semula dan memeriksa apakah masing- masing butir telah sesuai dengan indikator perilaku yang akan diungkap.
Uji Reabilitas Alat ukur
Estimasi keandalan skala kecenderungan kenakalan remaja, skala persepsi terhadap keharmonisan keluarga, dan skala konsep diri dihitung dengan menggunakan formula koefisien Alpha Cronbach.
Judul : DIFFERENCE OF AGGRESSIVENESS AMONG STUDENTS OF SMU
MUHAMMADIYAH 1 YOGYAKARTA BASED ON THE UPBRINGING PATTERNS
AND PARENTS’ OCCUPATION
Tahun : 2005
Author : Hanif
Landasan Teori
Kesadaran akan pentingnya pengelolaan aspek-aspek psikologis dewasa ini semakin meningkat. Ini terindikasikan dari banyaknya seminar, diskusi, bahkan training yang dilaksanakan oleh beberapa lembaga tertentu seperti training Manajemen Qalbu (Hernowo, 2002: 8), training Emotional Spiritual Quotient (ESQ) Leadership (Agustian, 2002: xxxviii), dan sejenisnya. Pengelolaan aspek-aspek psikologis ini tentunya bertujuan dalam rangka menangani penyakit-penyaki tpsikis yang belakangan banyak muncul. Penyakit-penyakit psikis ini seperti stress dan frustasi yang merupakan stimulus/emosi terkondisikan, akhirnya dapat
menyebabkan munculnya tingkah laku agresif (Koeswara, 1988:15). Penyakit-penyakit seperti ini biasanya terjadi pada siswa-siswi yang mulai menginjak remaja. Keinginan untuk menunjukan eksistensi dirinya dan pencarian jati diri kadang membuat mereka berperilaku ‘over’ yang bisa membahayakan diri mereka atau orang lain. Banyaknya orang tua yang sibuk mengurusi pekerjaan dan bersikap bebas sering melupakan perkembangan psikis (emosi) anak. Anak kemudian cenderung agresif untuk meluapkan semua keinginannya karena merasa tidak ada yang melarang dan membimbing mereka. Pola asuh yang tepat akhirnya menjadi faktor yang penting dalam pendidikan anak. Menurut Baumrind (1971: 178), pola asuh pada prinsipnya merupakan parental control (kontrol orang tua). Kohn (1971: 124) juga menyatakan bahwa pola asuh merupakan cara berinteraksi antara orang tua dengan anaknya, yang meliputi pemberian hukuman, hadiah, pemberian perhatian, serta tanggapan terhadap perilaku anak. Demikian pula diungkapkan Hadinoto (1979: 78) bahwa peranan dan bantuan orang tua kepada anak akan dapat tercermin dalam pola asuh yang
diberikan kepada anak. Tujuan pola asuh menurut Hurlock (1973: 134) adalah untuk mendidik anak agar dapat menyesuaikan diri dan diterima oleh lingkungan masyarakatnya (sosial). Bila anak menunjukkan perilaku agresif, yang tentunya mengganggu lingkungan sekitarnya sehingga menyebabkan anak merasa terisolasi oleh lingkungannya, maka dapat dikatakan bahwa anak tersebut tidak dapat menyesuaikan diri dan tidak diterima oleh lingkungannya. Dengan demikian, pentinglah kiranya pola asuh orang tua yang tepat agar anak dapat mengendalikan perilaku agresifnya. Pola asuh yang tepat menjadi sangat penting karena anak akan belajar sesuatu yang diinginkan dan diharapkan oleh masyarakat sehingga anak dapat mengendalikan
perilakunya. Orang tua sebenarnya juga sadar bahwa orang tua akan dianggap baik jika bisa mendidik anak dengan sebaik-baiknya. Akan tetapi, terkadang karena kesibukan orang tua, misalnya orang tua (ayah dan ibu) sama-sama bekerja, maka pola asuh yang diterapkan mempunyai porsi yang sedikit atau bahkan terabaikan sama sekali. Sebagian orang tua beranggapan bahwa anak sudah bisa memilih dan menentukan sesuatu sendiri. Kebebasan yang longgar diberikan kepada anak untuk memilih dan melakukan sesuatu sesuai keinginannya. Mereka beranggapan bahwa kebutuhan anak bisa dicukupi dengan materi atau lebih khusus lagi bisa dipuaskan dengan uang. Sementara kebutuhan anak tidak hanya berupa materi tetapi aspek
146 Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 6, No. 2, 2005: 144-154 psikis anak juga perlu diperhatikan. Karena itu, penerapan pola asuh yang dianggap tepat dan cocok dengan sendirinya akan menghasilkan anak-anak yang berkembang menuju dewasa dengan baik pula. Dalam penerapan pola asuh ini juga berkaitan erat dengan jenis pekerjaan orang tua. Pola asuh merupakan salah satu hal penting yang harus diperhatikan orang tua sebagai suatu kebutuhan untuk mengembangkan kemampuan anak. Sementara itu, untuk memenuhi kebutuhan dalam kehidupannya tidak bisa lepas dari masalah pekerjaan. Menurut Maslow (dalam Manulang,1991: 94), kerja merupakan suatu cara untuk memuaskan kebutuhan secara bertingkat yang mempunyai fungsi ganda. Fungsi kerja yang pertama adalah untuk memperoleh sumber daya yang biasanya
berupa materi (uang) guna memenuhi kebutuhan. Fungsi kedua berhubungan dengan kedudukan atau peran sosial seseorang dalam masyarakat. Jenis pekerjaan tertentu akan berpengaruh secara psikologis terhadap pola asuh yang diterapkan. Berhubung dengan pekerjaan dianggap sebagai matapencaharian bagi setiap individu, maka tak urung bila seseorang (orang tua) merasa sukses dalam suatu pekerjaannya ia akan menunjukkan reinforcement (penguat) yang baik, yang salah satunya ditunjukkan dalam penerapan pola asuh, misalnya dengan memberikan keleluasaan penuh kepada anak (permisif). Sebaliknya, bila seseorang (orang tua) merasa tidak sukses dalam suatu pekerjaannya ia akan menunjukkan reinforcement yang kurang baik pula diantaranya dengan menunjukkan sikap yang sewenang-wenang kepada anak (otoriter). Berdasar pada pemaparan di atas tampak bahwa kecenderungan pola asuh yang diterapkan orang tua dan jenis pekerjaan orang tua itu sendiri dapat mengendalikan perilaku anaknya, termasuk mengendalikan perilaku agresif. Dapat dilihat juga bahwa pola asuh orang tua mempunyai hubungan dengan jenis pekerjaannya karena pola asuh merupakan salah satu kebutuhan yang harus dipenuhi orang tua. Dalam jenis pekerjaan orang tua ini dapat dilihat apakah orang tua mempunyai aturan dalam mendidik yang ketat dan keras atau kelonggaran dalam mendidik. Misalnya jenis pekerjaan orang tua yang militer akan menerapkan disiplin
dan aturan yang ketat dalam mendidik anaknya, sementara orang tua yang jenis pekerjaannya wiraswasta akan menerapkan pola asuh yang tidak ketat. Selain itu, secara sosial, jenis pekerjaan mempunyai hubungan agresivitas karena harapan orang tua dalam membimbing dan mendidik anak adalah supaya anak diterima oleh masyarakat. Hasil didikan itu bisa dilihat dari perilaku anaknya. Dalam pola asuh, untuk mendidik dan memelihara anak, kebutuhan materi dan moral merupakan hal yang penting. Kebutuhan materi berhubungan dengan jenis pekerjaan orang tua, sedangkan kebutuhan moral berhubungan dengan pola asuh atau pendidikan yang diterapkan orang tua. Dengan demikian, pola asuh dan jenis pekerjaan orang tua saling dapat mempengaruhi dalam peningkatan atau penurunan agresivitas anak. Perbedaan Tingkat Agresivitas pada Siswa SMU Muhammadiyah I ... (Hanif) 147 Munculnya fenomena seperti perkelahian antarsiswa, perampokan yang dilakukan oleh siswa di beberapa daerah di Indonesia, khususnya di Yogyakarta
dewasa ini semakin marak. Di Yogyakarta para siswa SMU seringkali berkelahi antar sekolah ataupun antarkelas karena masalah-masalah sepele. Laporan terakhir menyatakan bahwa salah seorang siswa SMU Muhamadiyah I melakukan penyerangan ke salah satu SMU swasta di Yogyakarta sehingga mengakibatkan
meninggalnya salah satu siswa SMU tersebut (Kedaulatan Rakyat, 2002:1). Hal ini juga diperkuat oleh laporan dari kepala sekolah dan wakil kepala sekolah bagian hubungan masyarakat (humas) pada saat penulis observasi yang secara tidak langsung menyatakan bahwa SMU Muhammadiyah I saat ini lagi disorot karena peristiwa kekerasan yang baru terjadi. Itu semua merupakan fenomena-fenomena yang mengindikasikan perilaku agresif, sebagaimana dikemukakan Moore dan Fine (Verawati, 2001: 25) bahwa
tingkah laku agresif merupakan tingkah laku kekerasan secara fisik ataupun verbal terhadap individu atau terhadap objek. Demikian pula berdasar pada laporan biro konsultasi psikologi UGM yang dilakukan Haryanta (2000: 30) didapatkan bahwa beberapa kasus remaja adalah masalah hubungan interpersonal sehingga menimbulkan pertentangan (konflik) antar individu yang merupakan indikator dari tingkah laku agresif pula. Agresivitas merupakan kecenderungan manusia untuk melakukan agresi. Agresi umumnya diartikan sebagai segala bentuk tingkah laku yang disengaja, yang bertujuan untuk mencelakakan individu atau benda-benda lain. Menurut Moore dan Fine (dalam Verawati, 2001: 34) tingkah laku agresi adalah tingkah laku kekerasan secara fisik atau verbal terhadap individu atau objek. Aronson (1972: 105) menambahkan bahwa agresi adalah tingkah laku yang dimaksudkan untuk melukai orang lain, baik dengan
tujuan ataupun tanpa tujuan. Menurut Baron dan Byrne (1991: 142), perilaku agresif adalah segala bentuk perilaku yang disengaja untuk melukai orang lain dan ada usaha dari orang yang dilukai atau yang diserang untuk menghindar atau melawan. Tingkah laku agresi tidak hanya ditujukan kepada makhluk hidup, tetapi juga bisa ditujukan kepada objek lain yang dianggap sebagai sumber kesulitan yang menyebabkan frustasi (Gunarsa, 1980: 86). Agresi juga bisa berupa serangan terhadap sumber yang dianggap ancaman (Lazarus, 1976: 214). O Neal (Perlman dan Cozby, 1983: 91) mengungkapkan bahwa agresi adalah tingkah laku yang ditujukan untuk mencelakakan pihak lain. Buss (1973: 79) telah menguraikan bentuk-bentuk tingkah laku agresi ke dalam dua bentuk, yaitu: agresi fisik, misalnya memukul seseorang tanpa sebab; dan agresi verbal, misalnya memaki seseorang. Di samping bentuk-bentuk di atas, adapula bentuk-bentuk agresi lainnya sebagaimana dikemukakan Berkowitz (1995: 98) yang menekankan pada tujuannya, yaitu meliputi: (a) hostile aggression (agresi benci), 148 Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 6, No. 2, 2005: 144-154 yaitu melampiaskan keinginan untuk melukai atau menyakiti (tanpa tujuan) sehingga efeknya adalah terjadinya kerusakan, kesakitan, dan kematian pada sasaran atau korban.; dan (b) instrumental aggression (agresi instrumental), yaitu bentuk agresi yang dilakukan sebagai alat atau cara untuk mencapai tujuan tertentu, misalnya mahasiswa yang berbuat anarki dengan membakar gedung-gedung yang maksudnya
bukan membakar gedung tetapi untuk menurunkan presiden dari jabatannya. Pola asuh menurut Baumrind (1971: 178) pada prinsipnya merupakan parental control (kontrol orang tua). Kohn (1971: 147) menyatakan bahwa pola asuh merupakan cara orang tua berinteraksi dengan anaknya, yang di dalamnya meliputi pemberian aturan, hadiah, hukuman, dan pemberian perhatian serta tanggapan terhadap perilaku anak. Adapun Hadinoto (1979: 79) mengemukakan bahwa pola asuh yang diberikan akan tercermin dari peranan dan bantuan orang tua kepada anak.Tujuan pola asuh menurut Hurlock (1973: 251) adalah untuk mendidik anak supaya anak dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan sosialnya atau dapat diterima oleh masyarakat. Pola asuh sangat penting bagi anak karena anak dapat belajar tentang sesuatu yang hasilnya akan dapat diharapkan oleh masyarakat sekitarnya. Pola asuh juga akan berpengaruh dalam perilaku anak. Ada tiga jenis pola asuh yang banyak digunakan para orang tua yaitu: authoritarian, authoritative, dan permissive. Authoritarian mempunyai ciri-ciri di antaranya adalah: orang tua bertindak tegas, suka menghukum, kurang memiliki kasih sayang,kurang simpatik, suka memaksa anaknya untuk patuh terhadap aturan-aturan, berusaha membentuk tingkah laku serta cenderung mengekang keinginan anak. Orang
tua jarang memberikan pujian dan tidak mendorong untuk mandiri; hak anak sangat dibatasi sementara anak dituntut untuk mempunyai tanggung-jawab sebagaimana dengan orang dewasa. Anak harus tunduk dan patuh pada orang tua sementara orang tua sering memaksakan kehendak kepada anaknya. Kontrol terhadap perilaku anak sangat ketat, sering menghukum anak dengan hukuman fisik. Akibatnya, orang
tua cenderung banyak mengatur kehidupan anak. Authoritative bercirikan: hak dan kewajiban antara anak dan orang tua seimbang, mereka saling melengkapi antara satu dengan lainnya. Orang tua sedikit demi sedikit mulai melatih tanggung jawab dan menentukan tingkah laku anak itu sendiri menuju kedewasaannya. Dalam
melakukan tindakan, orang tua selalu memberikan alasan kepada anak dan bertindak objektif serta mendorong anak untuk saling membantu. Orang tua cenderung tegas tetapi juga hangat dan penuh perhatian. Akibatnya, anak akan tampak ramah, kreatif, percaya diri, mandiri, bahagia, serta memiliki tanggung-jawab sosial yang tinggi. Orang tua juga bisa bersikap bebas dan longgar, tetapi masih dalam batas-batas
normal. Adapun pola asuh permisif mempunyai ciri-ciri: orang tua memberikan kebebasan seluas mungkin kepada anak. Ibu memberikan kasih sayang yang banyak dan bapak bersikap sangat longgar. Anak tidak dituntut untuk belajar bertanggungjawab, anak diberi hak yang sama dengan orang dewasa. Anak diberi kebebasan Perbedaan Tingkat Agresivitas pada Siswa SMU Muhammadiyah I ... (Hanif) 149 yang seluas-luasnya untuk mengatur dirinya sendiri. Orang tua tidak banyak mengatur dan mengontrol sehingga anak diberi kesempatan untuk mandiri dengan menyeimbangkan kontrol internalnya sendiri (Baumrind, 1971: 199). Kehidupan manusia sehari-hari tidak dapat dipisahkan dengan masalah pekerjaan. Bekerja merupakan salah satu wujud dari aktivitas fisik dan mental. Kerja menurut Maslow (dalam Manulang,1991: 203) merupakan suatu cara untuk memuaskan kebutuhan secara bertingkat yang mempunyai fungsi ganda (dua fungsi). Fungsi yang pertama dari kerja adalah untuk memperoleh sumber daya atau penghasilan, yang biasanya berupa uang (materi) guna memenuhi kebutuhan; dan fungsi kedua berhubungan dengan kedudukan dan peran sosial seseorang dalam masyarakat. Pendapat ini diperkuat oleh Straus dan Sayles (dalam Andamari,1996: 23) yang menyatakan bahwa dengan bekerja seseorang akan memperoleh kepuasan dalam memenuhi kebutuhan fisik, sosial, psikis, dan rasa aman. Tanpa pekerjaan, seseorang akan mengalami kesulitan-kesulitan dalam menghadapi kehidupan, termasuk kesulitan dalam memenuhi kebutuhan untuk mendidik dan membimbing anak. Senada dengan pendapat tersebut, Blum (1995: 107) menyatakan bahwa kerja merupakan suatu bentuk aktivitas yang didukung oleh masyarakat (sosial) yang berbentuk penghargaan masyarakat atas aktifitas kerja, fungsi pekerjaan tersebut bagi masyarakat, dan dukungan dari diri sendiri berupa pencapaian tujuan. Dorongan yang melatarbelakangi pekerjaan bisa berupa kebutuhan untuk aktivitas
masyarakat, dorongan untuk menghasilkan sesuatu, memberi manfaat, mencapai prestise tertentu, memperoleh kekuasaan, serta pengakuan dan penghargaan dari orang lain. Berkaitan dengan status dan berbagai dimensi yang terdapat dalam pekerjaan, maka jenis pekerjaan yang banyak dilakukan oleh masyarakat di Indonesia dapat dikategorikan pada enam jenis pekerjaan, yaitu: karyawan perusahaan swasta, wiraswasta, buruh, tani, ABRI, dan pegawai negeri sipil (PNS).
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan adalah bahwa: (a) terdapat perbedaan tingkat agresivitas pada siswa SMU berdasar pada pola asuh orang tua, pola asuh otoriter berpeluang lebih besar untuk menimbulkan perilaku agresif dibanding dengan pola asuh demokratis dan permisif; dan (b) terdapat perbedaan tingkat agresivitas pada siswa SMU berdasar pada jenis pekerjaan orang tua, di mana jenis pekerjaan militer berpeluang lebih besar untuk dapat menimbulkan perilaku agresif dibanding dengan jenis pekerjaan sebagai wiraswasta dan PNS.
METODE PENELITIAN
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMU Muhammadiyah Satu (MUHI) laki-laki dan perempuan, kelas I dan II, berusia antara 15-18 tahun, 150 Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 6, No. 2, 2005: 144-154 berdomisili bersama orang tua; dan para orang tua siswa yang bersangkutan dari
berbagai usia dan berbagai jenis pekerjaan. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan metode stratifaid random sampling. Populasi terdiri dari golongan-golongan yang mempunyai susunan bertingkat atau berkelas (Hadi, 2000: 225), dan jumlah siswa dari kedua tingkatan kelas ini adalah 40% dari kelas I dan 40% dari
kelas II, yaitu sebanyak 160 siswa. Sampel untuk para orang tua yang akan diberikan angket pola asuh sesuai dengan banyaknya siswa yang dijadikan sampel, yaitu sebanyak 160 orang. Data diperoleh dengan cara observasi, penyebaran angket (kuesioner), dan wawancara. Observasi yang dilakukan penulis adalah observasi nonsistematik, yaitu observasi yang dilakukan tanpa mempersiapkan dan membatasi kerangka yang akan diamati (Hadi dan Haryono, 1998: 132). Skala yang digunakan ada dua yaitu skala agresivitas, yang mengacu pada teori agresivitas Buss (1973:79) dan skala pola asuh yang mengacu pada teori Hurlock (1973: 243). Sesuai dengan hipotesis yang dikemukakan, teknik analisis yang digunakan adalah teknik analisis variansi 2-jalur.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Setelah melakukan uji prasyarat analisis variansi 2-jalur, yaitu normalitas sebaran dan homogenitas variansi diperoleh temuan-temuan sebagai berikut:
1. Terdapat perbedaan yang sangat signifikan tingkat agresivitas pada siswa SMU Muhammadiyah I Yogyakarta berdasarkan pola asuh orang tuanya. Pola asuh permisif berpeluang paling tinggi dibanding dengan pola asuh otoriter dan demokratis untuk menimbulkan perilaku agresif. Hasil ini didukung dengan hasil wawancara terhadap orang tua siswa, dan mereka yang secara kuantitatif berskor
tinggi (berpola asuh permisif) ternyata terbukti anaknya memiliki tingkat agresivitas yang tinggi (berdasar skor agresivitas yang diperoleh). Skor menunjukkan rerata untuk masing-masing pola asuh adalah: otoriter = 69,344; demokratis = 79,283; dan permisif = 87,862..Dari skor terlihat bahwa pola asuh permisif mempunyai peluang besar menimbulkan agresivitas. Data ini didukung oleh pendapat Baumrind (1971:179) dan Hurlock (1973:167) yang menyatakan bahwa pola asuh permissif cenderung memberi kebebasan yang
luas kepada anak. Hal ini akan mengakibatkan anak merasa bebas berbuat sesuai dengan keinginan tanpa ada rasa tanggung jawab dari perbuatannya.
2. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam tingkat agresivitas pada siswa SMU Muhammadiyah I Yogyakarta berdasarkan jenis pekerjaan orang tua. Dengan kata lain, baik orang tua yang berprofesi sebagai wiraswasta, PNS, dan militer tidak memiliki efek yang berbeda terhadap agresivitas anak. Ini pun didukung oleh hasil wawancara yang dilakukan terhadap orang tua siswa yang Perbedaan Tingkat Agresivitas pada Siswa SMU Muhammadiyah I ... (Hanif) 151 berprofesi sebagai wiraswasta, PNS, dan militer. Dengan kata lain, untuk menentukan tingkat agresivitas pada siswa SMU MUHI Jogjakarta tidak atau jangan dilihat berdasar jenis pekerjaan orang tuanya. Skor yang diperoleh juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan berdasarkan jenis pekerjaan orang tua. Rerata skornya adalah :wiraswasta = 77,032; PNS = 76,436; Militer = 76,920.. Menurut Kohn (dalam Ihromi,1999:285) jenis pekerjaan mempengaruhi pola asuh, sementara pola asuh mempengaruhi agresivitas. Dengan demikian, jenis pekerjaan tidak mempunyai pengaruh langsung terhadap agresivitas.