Materi : ke 1 & 2
Nama kelompok :
1. ADE IRMA SURYANI ( 10509440 )
2. ANDITA GUSKA SETIA RENI ( 16509082 )
3. DANIEL ( 11509024 )
4. HERLINDA WONGSO ( 11509462 )
3. RIZKY SEPTIANI ( 16509494 )
4. YURIKA PURNAMA SARI ( 13509575 )
Mata Kuliah : Psikologi Lintas Budaya
KEBUDAYAAN INDIS
Pendahuluan
Kehadiran orang Belanda ke kepulauan Indonesia yang bermula hanya untuk berdagang lalu kemudian menjadi penguasa di Indonesia sangat mempengaruhi kebudayaan serta gaya hidup orang Indonesia (khususnya masyarakat jawa). Munculnya kebudayaan Indis adalah kebudayaan baru dari sekelompok masyarakat keturunan Eropa dan pribumi. Berkembangnya kebudayaan ini pada jaman itu awalnya didukung oleh kebiasaan hidup membujang para pejabat Belanda serta larangan membawa istri dan perempuan Belanda ke Hindia Belanda, hal ini mendorong lelaki Belanda menikahi pendududk setempat. Maka, terjadilah pencampuran darah yang melahirkan anak-anak campuran, serta menumbuhkan budaya dan gaya hidup Belanda-Pribumi yang disebut gaya indis. Tidak hanya gaya hidup dan budaya yang tercampur oleh budaya Belanda namun bentuk rumah, bahasa, perlengkapan hidup, mata pencarian, kesenian dan juga religi yang termasuk dalam tujuh unsur kebudayaan Belanda.
Tinjauan Teori
Teori yang berhubungan dengan isi buku :
1. Adanya stratifikasi sosial yang merupakan pembedaan atau pengelompokan para anggota masyarakat secara vertikal/ bertingkat. Dalam kehidupan masyarakat terdapat kriteria yang dipakai untuk menggolongkan orang dalam pelapisan sosial adalah sebagai berikut :
• Ukuran kekayaan, seseorang yang memiliki kekayaan paling banyak, ia akan menempati pelapisan di atas. Kekayaan tersebut misalnya dapat dilihat dari bentuk rumah, mobil pribadinya, cara berpakaian serta jenis bahan yang dipakai, kebiasaan atau cara berbelanja dan seterusnya.
• Ukuran kekuasaan, seseorang yang memiliki kekuasaan atau yang mempunyai wewenang terbesar akan menempati pelapisan yang tinggi dalam pelapisan social masyarakat yang bersangkutan.
• Ukuran kehormatan, orang yang disegani dan dihormati akan mendapat tempat atas dalam sistem pelapisan sosial. Ukuran semacam ini biasanya dijumpai pada masyarakat yang masih tradisional. Misalnya, orangtua atau orang yang dianggap berjasa dalam masyarakat atau kelompoknya. Ukuran kehormatan biasanya lepas dari ukuran-ukuran kekayaan dan kekuasaan.
• Ukuran ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan digunakan sebagai salah satu faktor atau dasar pembentukan pelapisan sosial di dalam masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan.
Pada budaya ini, adanya golongan kebangsaan pada jaman itu, kami kaitkan dengan Teori Konflik Karl Marx (1818- 1883). Teori konflik Karl Marx didasarkan pada pemilikan sarana- sarana produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam masyarakat. Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar. Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi.. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa adanya tetap terjaga.
Dilihat dari gaya hidup masyarakat pendukung kebudayaan indis yang memiliki kehidupan sosial dan ekonomi yang rata-rata lebih baik dibandingkan kehidupan masyarakat pribumi, dan juga pekerjaan yang lebih baik dibanding masyarakat pribumi pada umumnya, cukup menjelaskan bahwa pada jaman itu juga ada eksploitasi terhadap orang pribumi oleh orang keturunan.
2. Adanya Akulturasi Kebudayaan
Akulturasi adalah suatu proses sosial, yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri. Atau bisa juga di definisikan sebagai perpaduan antara kebudayaan yang berbeda yang berlangsung dengan damai dan serasi.
Di bawah ini beberapa faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya suatu proses Akulturasi. Diantaranya:
Faktor Intern (dalam), antara lain:
• Bertambah dan berkurangnya penduduk (kelahiran, kematian, migrasi)
• Adanya Penemuan Baru:
1. Discovery: penemuan ide atau alat baru yang sebelumnya belum pernah ada
2. Invention : penyempurnaan penemuan baru
3. Innovation /Inovasi: pembaruan atau penemuan baru yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat sehingga menambah, melengkapi atau mengganti yang telah ada. Penemuan baru didorong oleh : kesadaran masyarakat akan kekurangan unsure dalam kehidupannya, kualitas ahli atau anggota masyarakat
• Konflik yang terjadii dalam masyarakat
• Pemberontakan atau revolusi
Faktor Ekstern (luar), antara lain:
1. Perubahan alam
2. Peperangan
3. Pengaruh kebudayaan lain melalui difusi(penyebaran kebudayaan), akulturasi ( pembauran antar budaya yang masih terlihat masing-masing sifat khasnya), asimilasi (pembauran antar budaya yang menghasilkan budaya yang sama sekali baru batas budaya lama tidak tampak lagi).
Teori diatas dapat dikaitkan dengan kebudayaan Indis dibawah ini:
- Reflector menganjurkan pula hendaknya jangan bersikap memiliki sentiment dan menolak menggunakan unsur-unsur budaya bangsa Pribumi. Apabila perlu, setidak-tidaknya mereka bias mengawinkan dua unsur sebagai usaha baru dalam penciptaan.
- Adanya kelompok pakar ahli bangunan di Hindia Belanda yang menginginkan penggunaan unsur budaya tradisional jawa dalam penciptaan seni bangunan di Eropa.
- Kelompok pertama, mengutamakan pemindahan dari negeri ibu (Belanda), yang menghendaki seni bangunan (nasional Belanda) diberlakukan di daerah koloni, khususnya jawa. Alasannya ialah kemajuan teknik bangunan tidak mudah untuk diduga sebelumnya.
- Kelompok kedua, adanya pertimbangan politik, mereka lebih mengharapkan adanya peralihan ke seni jawa yang dapat menuju ke seni Indo-Eropa, yaitu apabila nantinya Hindia Belanda telah dapat berdiri sendiri.
Kalimat diatas menggambarkan bahwa terjadi perpaduan antara unsur kebudayaan yang berbeda antara unsur Jawa dan unsur Eropa tanpa menghilangkan unsur dari masing-masing kebudayaan yang ada.
Pembahasan
Awal terbentuknya kebudayaan Indis
Penjajahan Belanda pada kurun abad XVIII hingga abad XX tak hanya melahirkan kekerasan, tapi juga memicu proses pembentukan kebudayaan khas, yakni kebudayaan dan gaya hidup Indis. Budaya percampuran budaya Barat dan unsur-unsur budaya Timur. Jauh sebelum kedatangan bangsa Belanda di kepulauan Indonesia, di Pulau Jawa telah ada pendatang asal India, Cina, Arab, dan Portugis. Mula-mula orang-orang Belanda itu hanya datang untuk berdagang, tapi belakangan malah menjadi penguasa.Pada awalnya, mereka membangun gudang-gudang untuk menimbun rempah-rempah di Banten, Jepara, dan Jayakarta. Dengan modal kuat Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) mendirikan gudang penyimpanan dan kantor dagang. Sekelilingnya diperkuat benteng pertahanan, lalu sekaligus digunakan sebagai tempat tinggal.
Benteng semacam ini menjadi hunian pada masa-masa awal orang Belanda di Pulau Jawa. Segala kesibukan perdagangan dan kehidupan sehari-hari berpusat di benteng semacam ini. Gubernur Jenderal Valckenier (1737 – 1741) adalah pejabat tertinggi terakhir yang tinggal dalam benteng. Sesudah itu, para gubernur jenderal penggantinya tinggal di luar benteng. Bahkan setelah keadaan di luar kota aman, secara bertahap mereka berani bertempat tinggal dan membangun rumah di luar tembok kota. Pos-pos penjagaan dengan benteng-benteng kecilnya didirikan di Ancol, Jacatra, Rijswijk, Noordwijk, Vijfhoek, dan Angke.
Di samping itu para pejabat tinggi VOC membangun rumah-rumah peristirahatan dan taman yang luas, yang lazim disebut landhuis dengan patron Belanda dari abad XVIII. Ciri-ciri awalnya masih dekat sekali dengan bangunan yang ada di Belanda. Secara pelahan mereka membangun rumah bercorak peralihan pada abad XVIII antara lain di Japan, Citrap, dan Pondok Gede. Cirinya bilik-bilik berukuran luas dan banyak. Ini menunjukkan bangunan landhuis dihuni oleh keluarga beranggota banyak yang terdiri atas keluarga inti, dengan puluhan bahkan ratusan budaknya.
Gaya hidup semacam di landhuizen itu tidak dikenal di negeri Belanda. Lama-kelamaan kota-kota pionir macam Batavia, Surabaya, dan Semarang yang terletak di hilir sungai dianggap kurang sehat karena dibangun di atas bekas rawa-rawa. Mereka kemudian memindahkan tempat tinggalnya ke permukiman baru di daerah pedalaman Jawa, yang dianggap lebih baik dan sehat. Di sini mereka mendirikan rumah tempat tinggal dan kelengkapannya yang disesuaikan dengan kondisi alam dan kehidupan sekeliling dengan mengambil unsur budaya setempat. Pertumbuhan budaya baru ini pada awalnya didukung oleh kebiasaan hidup membujang para pejabat Belanda. Larangan membawa istri (kecuali pejabat tinggi) dan mendatangkan wanita Belanda ke Hindia Belanda memacu terjadinya percampuran darah yang melahirkan anak-anak campuran dan menumbuhkan budaya dan gaya hidup Belanda-Pribumi, atau gaya Indis.Kata “Indis” berasal dari bahasa Belanda Nederlandsch Indie atau Hindia Belanda, yaitu nama daerah jajahan Belanda di seberang lautan yang secara geografis meliputi jajahan di kepulauan yang disebut Nederlandsch Oost Indie, untuk membedakan dengan sebuah wilayah jajahan lain yang disebut Nederlandsch West Indie, yang meliputi wilayah Suriname dan Curascao. Konsep Indis di sini hanya terbatas pada ruang lingkup di daerah kebudayaan Jawa, yaitu tempat khusus bertemunya kebudayaan Eropa (Belanda) dengan Jawa sejak abad XVIII sampai medio abad XX. Kehadiran bangsa Belanda sebagai penguasa di Pulau Jawa menyebabkan pertemuan dua kebudayaan yang jauh berbeda itu makin kental. Kebudayaan Eropa (Belanda) dan Timur (Jawa), yang berbeda etnik dan struktur sosial membaur jadi satu.Golongan masyarakat atas adalah pendukung utama kebudayaan Indis. Dalam membangun rumah tempat tinggal gaya Indis, golongan pengusaha atau pedagang berperan cukup besar, misalnya mereka yang tinggal di Laweyan (Surakarta), dan Kotagede (Yogyakarta). Pada masa VOC, secara garis besar struktur masyarakat dibedakan atas beberapa kelompok. Masyarakat utama disebut signores, kemudian keturunannya disebut sinyo. Yang langsung merupakan keturunan Belanda dengan pribumi “grad satu” disebut liplap, sedang “grad kedua” disebut grobiak, dan “grad ketiga” disebut kasoedik. Liplap biasanya menjadi pedagang atau pengusaha, yang sangat disukai menjadi pedagang budak karena mendapat untung banyak. Ada pun grobiak kebanyakan menjadi pelaut, nelayan, dan tentara, sedangkan kasoedik mata pencariannya menjadi pemburu dan nelayan.
Kelengkapan hidup pada kebudayaan Indis
a.Rumah tempat tinggal
Pada mulanya bangunan dari orang-orang Belanda di Indonesia khususnya di Jawa, bertolak dari arsitektur kolonial yang disesuaikan dengan kondisi tropis dan lingkungan budaya. Sebutannya landhuiz, yaitu hasil perkembangan rumah tradisional Hindu-Jawa yang diubah dengan penggunaan teknik, material batu, besi, dan genteng atau seng. Arsitek landhuizen yang terkenal saat itu antara lain Wolff Schoemaker, DW Berrety, dan Cardeel.Dalam membuat peraturan tentang bangunan gedung perkantoran dan rumah kedinasan Pemerintah Belanda memakai istilah Indische Huizen atau Indo Europeesche Bouwkunst. Hal ini mungkin dikarenakan bentuk bangunan yang tidak lagi murni bergaya Eropa, tetapi sudah bercampur dengan rumah adat Indonesia.
b. Pakaian dan kelengkapan
cirri lain gaya hidup pada zaman itu banyak dipengaruhi oleh gaya Eropa ialah tata busana . Karena pengaruh para pembantu rumah tangga dan para nyai, kaum perempuan indis mengenakan kain sarung dan kebaya. Kain dan kebaya juga dikenakan untuk pakaian sehari-hari oleh para perempuan eropa . Sedangkan para pria eropa mengenakan sarung dan baju takwo atau pakain tidur motif batik.
c. Alat berkarya dan berproduksi
Belanda mengenalkan kepada penduduk Pribumi berbagai alat untuk berkarya atau alat-alat yang dapat digunakan untuk memudahkan kehidupan misalkan : mesin jahit , lampu gantung , lampu gas , kereta tunggang yang disebut dosdos atau sado.
d. Kelengkapan alat dapur dan jenis makanan
Di negri belanda sampai sekarang banyak rumah makan yang menyediakan berbagai jenis menu Indis Tempo doloe dengan memasang papan nama yang bertuliskan “Indische Restaurant”. Banyak keluarga belanda , khususnya anak keturunan yang pernah tinggal atau datang dari Indonesia menghidangkan menu indische rijsttafel. Hidangan ini terdiri dari nasi soto ,nasi goreng , nasi rames , gado-gado,lumpia dan sebagainya. Sementara itu di Indonesia masyarakat indis termasuk priyai jawa menghidangkan makanan keluarg a dengan menu campuran eropa dan jawa misalnya : beafstuk , resoulles , soep .
PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN
Pada masyarakat jawa orang muda wajib mengikuti adat istiadat dan kebiasaan orang tua mereka karena orang tua dianggap memiliki lebih banyak pengalaman . Dengan demikian proses belajar dan penyampaian pengetahuan serta nilai-nilai secara turun temurun , dari mulut ke mulut berperan sangat penting. Banyak peraturan dan kaidah-kaidah dalam masyarakat tradisional masih bercorak kaidah kesusilaan , kepercayaan , dan keagamaan . Adanya kiadah-kaidah tersebut membuat orang takut tertimpa akibat dunia maupun akhirat apabila melakukan pelanggaran . Proses pendidikan tradisional jawa yang semula berfungsi sebagai pelestarian budaya dan kesinambungan generasi , telah melunak pada masyarakat indis. Banyak unsure budaya jawa mempengaruhi anak-anak keturunan eropa dan sebaliknya pengaruh unsure kebudayaan eropa pada anak-anak priyai. Pada priyai pertama-tama menuntut kemajuan pada putranya dengan pendidikan modern , dengan maksut mereka dapat menduduki posisi jabatan dalam administrasi pemerintahan hindia belanda , suatu profesi yang terpandang dalam masyarakat Jawa .Pada system pendidikan menggunakan pendekatan buadaya setempat , di samping system pengenalan dan pendidikan gaya barat , memperekaya dan memperluas wawasan para siswa . Semua itu tidak mengubah sendi-sendi budaya jawa . misalnya dalam cara : berpakaian , bahasa , logika , materi bacaan , menulis dan berhitung yang pengajarannya di lakukan oleh guru-guru pribumi . Pendekatan dan pengenalan budaya barat tampak dalam cara berfikir dan agama .
RELIGI
Proses penyebaran agama katolik di Jawa di lakukan dengan berbagai cara , seperti mendirikan prasarana pendidikan , kesehatan peribadatan , memberikan bantuan social , serta melakukan sinkretisme dengan kebudayaan , kesenian dan agama setempat . Sinkretisme agama ini kemudian diimplementasikn dengan istilah lokalisasi , pembrimubian teologi , kontekstualisasi , dan inkulturasi . Robert J . Schreiter , C.P.P.S membedakan jenis sinkretisme dalam 3 kelompok : (1) sinkretisme agama Kristen dengan agama kepercayaan local , (2) sinkrtisme percampuran unsur-unsur bukan Kristen (3) system keagamaan yang bersifat selektif dalam memasukkan unsur-unsur Kristen , secara inplisit maupun eksplisit , sinkretisme berkaitan dengan usaha pencampuran unsure-unsur dari dua system keagamaan sampai satu titik perpaduan . Keberhasilan sinkretisme mengakibatkan gereja Kristen di Jawa di jadikan ajang kebudayaan jawa yang hendak mengadakan sosialisasi budaya dan agama . Gereja mempertahankan budaya local jawa , antara lain menggunakan gamelan untuk mengiringi upacara-upacara keagamaan , kidung-kidung jawa , figure-figur raja jawa dalam pewayangan dalam berbagai atributnya yang di padukan figure-figur keagamaan nasrani sebagai penggambaran visual tokoh suci agama nasrani .Keberhasilan enkulturasi tidak hanya berdampak pada munculnya kestabilan ideology , politik dan social , sejalan dalam kondisi zaman penjajahan .
Kehidupan Keluarga Sehari-hari di dalam Rumah
Suatu kebiasaan yang umum dilakukan bangsa Pribumi Jawa pada pagi hari adalah pergi ke kali. Sudah sejak lama keluarga keturunan Belanda membuat tempat untuk mandi (badhuisje) di tepi sungai. Kamar mandi yang terletak di dalam rumah sudah dikenal orang pada 1870, tentu saja masih bentuk sederhana. Kelengkapan tempat mandi juga terdapat di landhuizen milik para pejabat tinggi pemerintah. Orang yang lahir di Belanda sebenarnya membenci kebiasaan mandi setiap hari. Hal demikian itu juga berlaku bagi bangsa Portugis, termasuk juga perempuannya, khususnya para nona. Untuk menggantikan mandi mereka lebih senang mengenakan pakaian dalam yang tipis. Pada 1753 orang masih memberitakan kebiasaan seperti itu dengan menyebutkan wassen (mandi) untuk menjadikan tubuh segar.
Sebagai kebiasaan pagi setelah bangun tidur, suami-isteri para pejabat VOC duduk-duduk di serambi belakang sambil minum kopi atau teh dengan masih mengenakan pakaian tidur. Laki-laki mengenakan baju takwo dengan celana atau sarung batik. Perempuannya mengenakan sarung batik dan baju tipis warna putih berhiaskan renda putih. Kain batik yang sangat disukai adalah kain batik pekalongan. Menyambut tamu dengan hidangan mewah dan pesiar mengelilingi taman dan kebun juga dilakukan para pembesar Kolonial.
Daur Hidup dan Gaya Hidup Mewah
Daur hidup atau life cycle adalah suatu rangkayan dalam perkembangan kehidupan seseorang untuk kembali ke status aslinya dari satu tingkat ke tingkat berikutnya. Ada tiga peristiwa penting dalam daur kehidupan manusia, yaitu kelahiran, perkawinan, dan kematian. Ketiga upacara itu memiliki tujuan masing-masing. Upacara kelahiran dilangsungkan untuk menyambut kehadiran angota baru dalam suatu keluarga. Seluruh anggota keluarga berharap si upik selalu dalam keadaan sehat dan selamat. Upacara perkawinan diselenggarakan dengan mewah dengan harapan perkawinan yang baru dijalani kedua mempelai berlangsung penuh keselamatan. Upacara perkawinan lazimnya memerlukan biaya besar bagi terselenggarakannya perhelatan. Pada masa kejayaan VOC dan hindia Belanda justru peristiwa kematian yang mendapatkan perhatian istimewa. Kematian biasa diiringi berbagai upacara mewah dan memerlukan biaya yang sangat besar.
1. Upacara Kelahiran
Kelahiran anggota baru dalam keluarga lazim di rayakan dengan berbagai upacara. Sebelum melahirkan, keluarga Indis yang mampu sudah menyiapkan baju kanak-kanak, ranjang untuk si bayi, kelengkapan persalinan dan ruang tidur untuk si Upik. Upacara penting setelah kelahiran adalah pemberian nama dan upacara pembaptisan di gereja. Upacara-upacara untuk menyongsong kelahiran anak tidak terlalu banyak menelan biaya.
2. Upacara Pernikahan
Kemewahan upacara perkawinan ditentukan oleh kekayaan, tingkat jabatan, serta keberuntungan kedua calon pengantin dan orang tua pengantin. Upacara yang berlangsung semasa VOC dan pemerintahan hindia belanda berbeda dari waktu ke waktu. Paling bergengsi apabila upacara perkawinan diadakan pada Minggu sesudah upacara kebaktian gereja, pada masa kemudian yang dianggap bagus adalah waktu tengah hari. Pada akhir abad ke-18, upacara tidak diadakan di gereja, tetapi mereka mengundang pendeta ke rumah pengantin perempuan. Hal ini juga menambah gengsi tuan rumah dan pendeta karena Bapak Pendeta menyampaikan pemberkatan perkawinan di depan para tamu agung. Para tamu hadir dengan berpakaian bagus-bagus dan mahal.
3. Upacara Kematian
Upacara kematian diselenggarakan dengan mewah dan menelan biaya sangat besar. Upacara kematian untuk pejabat VOC atau pemerintahan Hindia Belanda memerlukan pengerahan banyak tenaga dan pemikiran berbagai pihak. Pengerahan banyak dilakukan oleh banyak pihak, mulai dari keluarga, rohaniawan, pejabat sipil, militer, sampai serdadu dan pemikul peti jenazah atau penggali kubur. Pada masa kejayaan VOC dan pemerintahan Hindia Belanda, uapacara yang berhubungan dengan kematian seorang pejabat tinggi justru merupakan ajang akan pamer kemewahan, kebesaran dan kemegahan. Bagi masyarakat Batavia, upacara kematian adalah upacara yang penuh gengsi dan kemegahan di samping sebagai momentum keakraban.
Mengamati seni bangunan rumah dan hasil karya seni
Melalui karya seni lukis, foto gravir, relief, dan karya sastra, kini orang dapat mengetahui hasil seni bangunan rumah dan perabotan milik bangsa Belanda dan anak keturunannya di Indonesia. Biasanya pada lukisan hasil seniman belanda tercantum keterangan tertulis dari si seniman. Karya tulis dengan tambahan tulisan itu memperjelas berita tentang kehidupan dan gaya hidup masyarakat pada jamannya. Dalam seni lukis abad ke- 17 s/d 19, sedikit sekali kemungkinan para pelukis memalsukan objek yang dilukis. Pendapat ini disertakan beberapa alasan.
Pertama, para pelukis naturalis yang hidup pada abad ke-17 s/d 19 adalah pengikut yang terpengaruh oleh gaya periode Renaisans dan Barok. Pada masa itu “naturalisme” dan “akademisme” hidup dengan subur dikalangan seniman lukis Eropa. Dengan demikian didalam lukisan seniman-seniman Belanda pada jaman ini besar sekali kemungkinannya bahwa apa yang dilukis benar-benar ada dan tepat sesuai dengan bangunan serta keadaan pada waktu itu. Pelukis Belanda waktu itu mewujudkan karya lukisannya secara alami, didasarkan dari apa yang mereka lihat tanpa sedikitpun mengerjakan pengaruh pengaruh dari jiwanya.
Pelukis-pelukis Belanda pada jaman itu adalah, Johannes Oliver, Roorda Eysinga, Willebrands, J.Rach dan pelukis terbagus pada abad ke 17 adalah Jacob Janson Coeman.
Pola pemukiman masyarakat Indis di kota, Provinsi, dan Kabupaten
Budaya indis yang berkembang pada abad ke-18 s/d 19 dan berpusat ditanah-tanah partikelir (particuliere-landerijen) dan dilingkungan Indische landzhuichen. Pada permulaan abad ke-20 kebudayaan ini bergeser ke arah urban life seiring dengan hilangnya pusat-pusat kehidupan tersebut.
Sesuai dengan perkembangan ekonomi, pengajaran, dan pendidikan pada abad ke-19, jumlah gedung sekolah semakin banyak. Kehadiran para pejabat pemerinyah kolonial, baik yang berbangsa Belanda maupun Pribumi (priyayi), menyebabkan gambaran relief pola kota lebih berkembang. Pola pemukiman kota menunjukan secara jelas cerminan adanya pluralisme masyarakat, yang juga menunjukan stratifikasi sosial masyarakat kolonial Hindia Belanda. Pengelompokan permukiman berdasarkan warna kulit dan suku bangsa makin mencolok.
Contohnya, di Pasuruan, orang-orang cina tinggal di Pecinan sementara Pribumi tinggal dikampung-kampung yang berpenduduk padat.
Maclaine Pont berpendapat bahwa pada awal abad ke 20 bangunan kota-kota di pulau jawasudah banyak menerima pengaruh seni bangunan Belanda. Permukiman dan tempat tinggal penduduk di Kepulauan Hindia Belanda terbagi sesuai dengan golongan dan kebangsaannya. Ada empat golongan kebangsaan, yaitu :
1. anak negri atau bangsa pribumi
2. orang yang disamakan dengan anak negri (sesuai dengan sjart pemerintah Hindia Belanda pasal 109), seperti; orang cina, arab, koja, keling, mereka dinamakan “orang asing dibawah angin” untuk tinggal menetap mereka harus mendapat izin dari gubernur jenderal.
3. orang Eropa
4. orang yang disamakan dengan bangsa Eropa
Tata pemukiman penduduk kota pada abad ke-19 di jawa menunjukan secara jelas tentang adanya macam-macam golongan masyarakat kolonial. Pertama, dibagian kota tertentu terdapat kompleks perumahan tembok berhalaman luas dengan bangunan beratap tinggi. Ini adalah pemukiman golongan Eropa atau golongan elit pribumi. Kedua pecinan umumnya merupakan kelompok bangunan padat penduduk dan rapat satu sama lain, rumahnya beratapkan pelana lengkung, bagian mukan rumah dipakai untuk berjualan, usaha pertokoan atau pelayanan lain. Lazimnya kompleks pecinan terletak ditepi pasar kota di tepi jalan raya. Ketiga, kampung adalah tempat tinggal khusus bagi golongan pribumi, basanya rumahnya beratap pelana dari ijuk, daun rumbia sejenis palem, dan genting yang pada abad ke-19 jumlahnya masih sedikit.
Rendahnya perhatian pemerintah Hidia Belanda pada pemukiman bangsa pribumi sampai dengan awal abad ke-20 dapat kita ketahui dari tulisan dan keluhan Tillema berjudul Kromo Belanda sebanyak lima jilid. Ia seorang apoteker dan anggota Geemente Raad di semarang. Tillema menunujukan keadaan permukiman bangsa pribumi yang sangant buruk dan mengakibatkan timbulnya berbagai penyakit yang meminta korban ribuan penduduk setiap tahun. Tillema mengharapkan perhatian pemerintah Hindia Belanda untuk mengadakan perbaikan pemukiman pendududk, khususnya bagi bangsa pribumi. Saran dan tujuan Tillema kemudia mendapat sambutan baik, antara lain dengan adanya Sociaal Technisce Vereeniging Congres yang pertama tahun 1922 di Semarang.
Upaya mencukupi Kebutuhan Perumahan Kota
Perkembangan dan perluasan kota-kota besar di Jawa dan di berbagai tempat menimbulkan kekurangan rumah tempat tinggal bagi penduduk kota. Hal demikian tidak dapat dibiarkan begitu saja oleh pemerintah. Berbagai upaya masyarakat pun dilakukan untuk mengatasi kesulitan tersebut.
Pada 1930 pekarangan rumah dibuat sesuai dengan keperluan, dan dengan pertimbangan antara lain (a) makin mahalnya harga tanah dan material (b) orang mulai menyukai hal-hal praktis dan memenuhi segala keperluan dan selera, golangan masyarakat indis meniru gaya hidup seperti cara hidup panutan masyarkat indis (c) susunan keluarga inti dianggap lebih penting sehingga mempersempit keluarga diluar keluarga inti untuk ngeger, ngindung, magersari, dsb (d) karena keluarga indis kebanyakan adalah pegawai pemerintah yang kemungkinan besar sering pindah ke lain kota, atau karena promosi jabatan dan terbukanya kenaikan karier. Akibatnya, orang lebih suka membuat rumah sesuai dengan kebutuhan. Pada akhirnya Firma Vokerklein Woningbouw mendirikan rumah kecil sebanyak 600 buah, rumah besar 82 buah.
Penggunaan Unsur Seni Tradisional dalam Rumah Gaya Indis
Upaya untuk mewujudkan penggunaan unsur-unsur seni bangunan tradisional setempat (khususnya Jawa) telah dilontarkan oleh Reflector di dalam Indisch Bouwkundig De Locomotif, terbitan 30 Juli 1907. Reflector menyetujui dan mengharapkan, hendaknya para ahli di Hindia Belanda terpanggil dan sadar untuk bangun dan mengambil sumber-sumber inspirasi dari bumi Hindia Belanda yang tidak ada habis-habisnya, antara lain dengan mengambil contoh-contoh dari arsitektur hasil karya bangsa yang dianggapnya lebih rendah atau tidak beradab. Hendaknya karya-karya yang merupakan ilham dari orang jawa yang berbakat tersebut dapat dipakai untuk bahan ide membangun arsitektur modern di dunia Timur. Reflector menganjurkan pula hendaknya jangan bersikap memiliki sentiment dan menolak menggunakan unsur-unsur budaya bangsa Pribumi. Berlage pada 8 April 1924 menyebutkan dan membenarkan bahwa di Hindia Belanda terdapat dua kelompok pendapat tentang penggunaan atau pemakaian seni budaya jawa dalam bangunan. Kelompok pertama, mengutamakan pemindahan dari negeri ibu (Belanda), yang menghendaki seni bangunan (nasional Belanda) diberlakukan di daerah koloni, khususnya jawa. Alasannya ialah kemajuan teknik bangunan tidak mudah untuk diduga sebelumnya. Kelompok kedua, adanya pertimbangan politik, mereka lebih mengharapkan adanya peralihan ke seni jawa yang dapat menuju ke seni Indi-Eropa, yaitu apabila nantinya Hindia Belanda telah dapat berdiri sendiri.
Tentang Hiasan Rumah Tinggal
Arsitektur rumah tinggal merupakan suatu bentuk kebudayaan. Menurut Marcus Vitruvius Pallio, tiga unsur yang merupakan faktor dasar dalam arsitektur yaitu: a. kenyamanan (convenience), b. kekuatan atau kekukuhan (strength) dan c. keindahan (beauty). Ketiga factor tersebut saling berhubungan dan selalu hadir dalam struktur bangunan yang serasi. Ketiga factor tersebut merupakan dasar penciptaan arsitektur yang memiliki estetika. Dari ketiga factor ini, wajarlah kiranya untuk menyebut bahwa arsitektur adalah suatu karya seni yang diciptakan melalui proses yang sangat sulit dan rumit. Karya seni umumnya hanya mementingkan aspek keindahan, misalnya yang dapat dilihat ada karya patung, sastra, atau musik. Beberapa abad lalu, arsitektur Eropa identik dengan gaya Renaisans, Barok, Rokokok, Empire, dan sebagainya. Gaya arsitektur tersebut banyak menerapkan ragam hias atau ornament. Ragam hias yang mereka buat biasanya berupa gambar tokoh, binatang maupun manusia yang sedang tertawa, menyeringai dan sebagainya. Gambar atau ragam hiasan merupakan suara bentuk ekspresi jiwa yang kemudian menghiasi objek agar tampak indah, bernilai magis atau simbolik. Akan tetapi, sejak abad ke 20 banyak benda tidak lagi memerlikan hiasan. Misalnya truk atau kapal, yang digunakan untuk sarana angkutan besi batangan. Demikian pula halnya pada arsitektur rumah. Rumah dan interiornya tidak lagi dihiasi karena memang dianggap tidak perlu.
Kesimpulan
Dari pembahasan yang kami jabarkan, dapat ditarik kesimpulan bahwa, penjajahan Belanda pada kurun abad XVIII hingga abad XX tak hanya melahirkan kekerasan, tapi juga memicu proses pembentukan kebudayaan khas, yakni kebudayaan dan gaya hidup Indis. Budaya gado-gado, percampuran budaya Barat dan unsur-unsur budaya Timur. Kebudayaan campuran ini mencakup ketujuh aspek unsur universal budaya bangsa, seperti yang dimiliki semua bangsa di dunia. Dengan demikian, kebudayaan Indis adalah kebudayaan yang merupakan kepanjangan kebudayaan Indonesia, yang terdiri atas kebudayaan Prasejarah, kebudayaan Hindu – Budha, dan kebudayaan Islam Indonesia. Bersamaan dengan runtuhnya kekuasaan Hindia Belanda ke tangan balatentara Jepang pada 1942, perkembangan kebudayaan Indis ikut-ikutan terhenti. Gaya hidup Indis yang mewah terusik oleh PD II yang berkecamuk dan melumpuhkan gairah hidup. Sulitnya hidup masa perang juga menghentikan segala aktivitas kesenian.Sungguh pun bangunan rumah gaya Indis masih banyak yang berdiri kokoh hingga kini, tetapi gaya hidup penghuninya yang bercirikan budaya Indis di Indonesia sudah tamat.Namun, sebagai buah kebudayaan, akar-akar budaya Indis masih ada yang tetap berlanjut, hidup di antara unsur-unsur budaya baru. Peradaban Indis tidak lagi menjadi kebanggaan sebagai identitas suatu golongan masyarakat dan sangat dimusuhi pada zaman Jepang dan revolusi fisik, tetapi telah melebur.Karena nilai-nilai baru belum ada, beberapa unsur peradaban yang banyak dianut dan diciptakan oleh kaum terpelajar, baik priyayi pribumi maupun golongan Indo, serta para birokrat pemerintahan dari masa zaman Hindia Belanda, masih tetap berlanjut.Sementara itu di Belanda orang-orang yang lahir atau pernah tinggal di Indonesia tetap melanjutkan kebudayaan Indis. Pasar malam Tong-tong di Den Haag, Indische Restaurant dengan sajian Indische rijsttafel seperti soto, nasi goreng, sate ayam, wedang ronde, sekoteng, dsb. hingga kini ramai dikunjungi orang.
Saran
Penyusun merasa belum dapat mengulas secara sempurna isi dari buku Prof. Dr. Djoko Soekiman, dalam judul Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa (1996). Karena itu, penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.
Terimakasih
Penyusun
Daftar Pustaka
Soekiman, Djoko. 2011. Kebudayaan Indis Dari Zaman Kompeni sampai Revolusi. Jakarta : Komunitas Bambu.
NN. 2010. Definisi Penyebab dan-Akulturasi. http://jolompong.blogspot.com. 25 September 2011.
Sujayanto, G. 2009. Budaya Indis ; Jawa Bukan Belanda. http://kopralcepot.blogspot.com. 25 September 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar